Sebaliknya, angka impor dari Tiongkok justru melesat dengan rata-rata pada kuartal II/2024 sebesar 5,1 persen (yoy), terutama pada produk tekstil.
Kelima, adanya pelemahan sektor konsumsi rumah tangga, terutama pasca pemilu dan Lebaran mengalami penurunan yang tecermin dari indeks penjualan riil yang turun di kisaran 1 persen pada kuartal II/2024.
Pelemahan konsumsi itu terjadi sejalan dengan minimnya peningkatan upah. Rata-rata upah riil pada 2023 kontraksi, pada 2024 sudah mulai bergerak positif, tetapi sangat lemah alias hanya tumbuh 0,7 persen yoy.
Beberapa indikator yang bersifat constrains tersebut di atas seyogianya menjadi bahan pertimbangan untuk meninjau ulang apakah dengan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen bisa menjadi faktor pendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen? Atau, justru menjadi beban bahkan bumerang tercapainya target ambisius tersebut?
Meski pemerintah berargumen bahwa terdapat sejumlah barang sembako dan jasa dikecualikan dari pengenaan PPN 12 persen agar tidak berdampak pada kenaikan harga barang, jangan dilupakan bahwa nyaris semua transaksi jual beli barang dan jasa saat ini menggunakan jasa layanan uang elektronik, dompet digital, dan quick response code Indonesian standard (QRIS).
Itu semua merupakan objek pajak yang telah diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Dengan demikian, bukankah hal tersebut membebani harga barang dan jasa sehingga rakyat lagi yang menanggung kenaikannya, bukan? (*)
*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship and Leadership dan mahasiswa program doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.