Dalam perjanjian damai itu, GAM sepakat untuk mengakhiri upaya kemerdekaan mereka.
Sebagai gantinya, mereka diberi otonomi khusus, sementara Jakarta memberikan amnesti bagi para pejuang dan tahanan politik.
BACA JUGA:20 Tahun Tsunami Aceh, Fakta-Fakta Ketika Bencana dan Kondisi Setelahnya
BACA JUGA: 20 Tahun Tsunami Aceh: Warga Berjuang Hilangkan Trauma, Histeris saat Menyangka Dunia Kiamat
Afrizal, mantan prajurit GAM yang pernah bertempur di bawah Muharram, kini bekerja sebagai nelayan di desa Lamteungoh.
Kakak dan adiknya menjadi korban tsunami, dan jasad mereka tak pernah ditemukan.
Dia mengingat saat itu berada di pegunungan ketika tsunami terjadi. Unitnya turun ke bawah untuk membantu upaya penyelamatan. "Seperti perang dunia baru saja terjadi," ujarnya singkat.
Setelah itu, para pemimpin GAM menyerukan gencatan senjata sepihak. Namun, serangan dari pasukan Indonesia tetap berlanjut. Beberapa bulan kemudian, Afrizal diberitahu bahwa perdamaian akan segera tercapai.
"Kami tidak kecewa. Bukan karena tidak mampu bertempur, tetapi karena kami memilih damai akibat bencana ini," katanya.
Muharram mengakui ada keraguan di antara para pejuangnya terhadap pemerintah Indonesia. "Beberapa orang merasa kecewa karena mereka meragukan janji pemerintah," ujar Afrizal.
Namun, Banda Aceh kini telah berubah. Ibu kota provinsi tersebut dipenuhi restoran, kedai kopi, dan hiruk-pikuk lalu lintas.
BACA JUGA:Tari Tsunami Aceh Antar SMA Labschool Kebayoran Juarai Festival Musik dan Seni di Bulgaria
Meski demikian, tantangan masih ada. Aceh tetap menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia, meskipun memiliki otonomi khusus.
Mantan pemberontak masih mendominasi politik lokal, sementara pemerintah pusat sering memperlakukan Aceh seperti provinsi lainnya.
Aceh juga menjadi satu-satunya provinsi yang menerapkan hukum syariat Islam secara ketat, yang mendapat kritik dari kelompok hak asasi manusia karena hukuman seperti cambuk bagi pelanggaran moral.