Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh: Tubuh-Tubuh Itu Tak Pernah Ditemukan
Keluarga Nasyahira Farizka (tengah), 19, ketika berdoa di kuburan massal Siron, 26 Desember 2024. Gadis itu sedang berada di kandungan Maisara, ibunya, ketika tsunami menerjang 20 tahun lalu.-Yasuyohi Chiba/AFP-
Kisah pilu tragedi tsunami Aceh 2004 memang seperti diabadikan oleh waktu. Meskipun, rasa sakitnya mungkin telah pupus dimakan zaman. Warga pun telah bangkit. Namun, setiap kenangan tentang sanak keluarga yang hilang tetap memunculkan rasa rindu tak terperi.
KOMPLEKS pemakaman massal Siron, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, ramai dikunjungi orang, Kamis, 26 Desember 2024.
Ya, ramai. Tapi tidak hiruk-pikuk. Keheningan cukup terjaga. Di bawah naungan pepohonan, orang-orang itu —para peziarah— melantunkan doa-doa. Mereka mengenang puluhan ribu jiwa yang tewas ketika tsunami meluluhlantakkan kawasan itu dua dekade lalu.
Keluarga-keluarga korban juga tampak duduk melingkar di atas rumput kuburan masal itu, tempat 46 ribu jasad dimakamkan. Mereka merenung. Mengenang kerabat yang meninggal pada tsunami dahsyat tersebut.
BACA JUGA: 26 Desember: Hari Peringatan Tsunami Aceh dan Pelajaran untuk Masa Depan
Anda sudah tahu, tsunami itu dipicu gempa sebesar 9,1-9,3 magnitudo di lepas pantai barat Pulau Sumatera itu. Air yang naik hingga ketinggian 30 meter itu membawa apa pun. Termasuk puing-puing, kapal, mobil, dan jasad.
Beberapa orang, seperti Reza Fahlevi, seorang dosen, tidak pernah menemukan jasad anggota keluarga."Kami tidak bisa menemukan jasad mereka," katanya kepada Agence France-Presse sambil terisak. Ia mengenang ibu dan kakak laki-lakinya yang lenyap.
Pria berusia 35 tahun itu selamat karena berada di sekolah asrama ketika tsunami melanda. Ia mencari keluarganya selama berbulan-bulan. Ia menyebarkan selebaran, foto, bahkan memasang iklan di surat kabar lokal.
Menabur bunga para perempuan di Banda Aceh ini berdoa bagi para kerabat yang hilang saat tsunami melanda dua dekade yang lalu.-Chaideer Mahyuddin/AFP-
"Butuh waktu setahun. Akhirnya, kami harus menerima semuanya dengan berat hati," ujarnya.
"Saya datang ke sini untuk berdoa bagi mereka meskipun saya tidak tahu apakah mereka benar-benar dimakamkan di sini," tambah Reza. Hari itu, ia duduk bersama istri dan anak balitanya di antara para pelayat di kuburan massal Siron.
Doa juga digelar di kuburan massal yang lebih kecil. Yakni di UleeLheue, tempat sekitar 14.000 orang dimakamkan.
Beberapa pelayat duduk dengan kepala tertunduk mengenang orang-orang tercinta, sementara yang lain menaburkan kelopak bunga di tanah.
Di Masjid Raya Baiturrahman di ibu kota provinsi Banda Aceh, keluarga korban berkumpul di bawah tenda untuk mendoakan orang-orang yang mereka cintai.
BACA JUGA: Mengenang Tsunami Aceh 2004, Titik Damai Indonesia dan GAM
Beberapa dari mereka mengulang pandangan yang banyak diyakini di provinsi itu. Yakni, tsunami adalah kehendak Allah untuk mengakhiri konflik selama puluhan tahun antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia.
"Saya berharap semua keluarga yang telah pergi berada di sisi Tuhan. Dan saya berharap bencana ini mengingatkan bahwa kita adalah makhluk yang tidak berdaya," kata Hasnawati. Dua dekade lalu, guru berusia 54 tahun itu kehilangan kerabat dan teman. "Semuanya terjadi karena kehendak Tuhan," tambah Hasnawati.
Di Siron, para pelayat meletakkan bunga. Sementara, beberapa orang menangis tersedu-sedu di bawah pepohonan ketika seorang khatib berbicara tentang ketabahan danimah.
Maisarah, ibu rumah tangga berusia 48 tahun, sedang hamil ketika bencana terjadi. Dia kehilangan putrinya yang berusia empat tahun, suami, orang tua, serta lima saudara kandung.
BACA JUGA: Gubes UI Kenang Perjuangan Tim Medis Saat Tsunami Aceh: Lumpur Setinggi Lutut di Gedung Rumah Sakit
"Ketika saya menerima kenyataan itu, seluruh tubuh saya terasa sakit dan saya menangis," katanya."Saya tidak percaya bahwa seluruh keluarga saya telah tiada," ucap Maisarah.
Namun, meskipun terseret oleh arus air, Maisarah dan bayinya tetap selamat. Dia pun melahirkan seorang putri yang kini berusia 19 tahun.
Sejak saat itu, Maisarah menikah lagi dan memiliki dua putra.
"Ketika bidan memberi tahu saya bahwa saya masih hamil, saya berjanji kepada diri saya sendiri bahwa saya harus kuat. Saya harus melakukan apa saja untuk anak saya," ujarnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: