20 Tahun Tsunami Aceh: Warga Berjuang Hilangkan Trauma, Histeris saat Menyangka Dunia Kiamat

 20 Tahun Tsunami Aceh: Warga Berjuang Hilangkan Trauma, Histeris saat Menyangka Dunia Kiamat

DJAFARUDDIN berfoto di dekat Masjid Agung Baiturrahman, Banda Aceh, 19 November 2024. Di situlah ia mengumpulkan jenazah korban tsunami dua dekade lalu.-CHAIDEER MAHYUDDIN-AFP-

Tengoklah betapa negerinya angka-angka soal gempa Aceh, 26 Desember 2004. Kekuatannya 9,3 Skala Richter. Dampaknya terasa di 14 negara. Korbannya mencapai lebih dari 227 ribu orang. Di Indonesia sendiri, lebih dari 160 ribu warga tewas. Traumanya berkepanjangan.

TRAUMA. Itulah yang dirasakan Djafaruddin, warga Banda Aceh, yang menyaksikan gempa dan tsunami dahsyat 20 tahun silam. Tidak hanya saksi, ia adalah salah satu petugas penting dalam suasana nestapa tersebut. Ya, Djafaruddin adalah pengumpul jenazah korban tsunami yang mencapai ratusan ribu jiwa tersebut.

Trauma itu memang sudah teratasi. Sudah hilang. Namun, ia masih tak kuasa menahan air mata saat mengenang anak-anak yatim piatu yang ditinggalkan bencana tersebut.

Kala itu, ia berkeliling kota. Naik pikap hitamnya. Saban hari, Djafaruddin harus mengangkut puluhan jenazah. Yang kondisinya memprihatinkan. Dan makin lama kian mengenaskan. Beberapa tubuh tak lagi lengkap. Remuk.

BACA JUGA:Gempa Bumi di Vanuatu Picu Tsunami Lokal, Ini Keterangan BMKG

BACA JUGA:Gempa di Kepulauan Izu Berkekuatan Mw 5,7 Tidak Berpotensi Tsunami di Wilayah Indonesia

Dengan telaten, ia memindahkan jasad-jasad tersebut ke rumah sakit terdekat. Setiap hari pula, tubuh Djafaruddin berlumuran darah dan lumpur.

“Saat melihat kondisi di sungai dengan jenazah berserakan. Saya berteriak dan menangis,” katanya. ’’Apa ini? Kiamat, kah?’’ serunya kala itu.

Pemandangan itu begitu membebani Djafaruddin. “Tidak terbayangkan hal seperti ini bisa terjadi. Seolah-olah ini adalah akhir dunia,” ucap lelaki 69 tahun tersebut.


TETAP TEGAK, masjid di Kuala Bubon, Meulaboh, ini dikelilingi areal yang luluh lantak, 19 Januari 2005. Foto bawah, masjid dipotret pada 30 November 2024.-ADEK BERRY & Chaideer Mahyuddin-AFP-

Dua dekade berlalu, Djafaruddin kembali ke lokasi tempatnya mengangkut para korban. ’’Di sinilah mayat-mayat tergeletak. Bercampur kayu yang terbawa arus,” ujarnya di sudut dekat Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Di situ pula dulu ia mengumpulkan setidaknya 40 jenazah.

“Saya melihat anak-anak. Mengangkat mereka seolah-olah mereka masih hidup. Tetapi ternyata tubuh mereka lunglai dan tak bernyawa,” ceritanya.

Aceh luluh lantak. Lebih dari 160 ribu jiwa melayang. Jumlah aslinya pasti lebih tinggi. Karena banyak jenazah yang tidak pernah bisa ditemukan.

Kini, Banda Aceh memang pulih. Mobil dan motor memenuhi jalanan. Tetapi Djafaruddin masih ingat pemandangan yang sangat berbeda saat gelombang raksasa menyapu jalananan.

“Di sini, kami melihat ayah dan ibu menangis, mencari istri, mencari suami, mencari anak-anak mereka,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: