20 Tahun Tsunami Aceh: Warga Berjuang Hilangkan Trauma, Histeris saat Menyangka Dunia Kiamat
DJAFARUDDIN berfoto di dekat Masjid Agung Baiturrahman, Banda Aceh, 19 November 2024. Di situlah ia mengumpulkan jenazah korban tsunami dua dekade lalu.-CHAIDEER MAHYUDDIN-AFP-
Saat itu Djafaruddin, seorang petugas dinas perhubungan, sedang di rumah ketika gelombang setinggi lebih dari 30 meter menghantam kotanya. Ketika jalanan di sekitarnya dipenuhi orang-orang yang melarikan diri, ia justru menuju ke lokasi bencana.
Kondisi bangunan di jalan Inpes Banda Aceh usai tersapu Tsunami.-Boy Slamet-
Anaknya kembali dari pusat kota sambil berteriak, “Airnya naik!” Bapak lima anak itu minta keluarganya tetap tinggal di rumah. Ia yakin bahwa air tidak akan mencapai rumahnya yang berjarak lima kilometer dari pantai.
Di tempat lain, permukiman di sepanjang pantai hancur oleh bencana yang belum pernah mereka dengar atau bayangkan sebelumnya.
Djafaruddin masih ingat saat ia melompat ke mobil yang biasanya digunakan untuk membawa rambu lalu lintas dan tanda jalan. Mobil itu segera dipenuhi tubuh manusia. “Itu spontan saja. Terlintas dalam benak saya bahwa kami harus membantu,” ujarnya.
Djarafuddin adalah salah satu orang pertama yang tiba di rumah sakit militer di kota itu dengan membawa korban tsunami. Saat upaya evakuasi meningkat, ia dibantu oleh tentara dan Palang Merah Indonesia.
Di rumah sakit, menjelang senja setelah seharian mengangkut jenazah, petugas kesehatan memberinya roti dan air karena penampilannya yang sangat lusuh. “Karena tubuh kami berlumuran darah dan lumpur, mereka memberi kami makanan,” katanya.
Djafaruddin mengalami trauma selama bertahun-tahun setelah tragedi itu. Trauma yang akhirnya terkikis oleh waktu. Setelah dua dekade berlalu.
Namun, ia kembali terisak saat mengenang anak-anak yang memanggil orang tua mereka yang hilang.
Djafaruddin dan keluarganya menampung puluhan anak yang melarikan diri dari air bah. Anak-anak itu pun trauma. “Sangat menyedihkan. Mereka menjerit di malam hari, memanggil orang tua mereka,” ujar Djafaruddin sambil menangis.
Djafaruddin mengatakan ia dan masyarakat Aceh telah berdamai dengan kehilangan besar itu. “Kami tidak perlu bersedih. Kami merelakan mereka. Saya pikir semua orang Aceh berpikir begitu,” katanya.
Kini, Djarafuddin adalah kepala desa di Banda Aceh. Ia menyebut posisi itu sebagai pengabdian kepada masyarakat.
Djafaruddin meyakini, bencana tersebut adalah peringatan dari Tuhan setelah konflik separatis selama puluhan tahun dengan pemerintah Indonesia. Konflik itu akhirnya tuntas pasca tragedi.
Setiap kali melewati tempat mengumpulkan jenazah dua puluh tahun lalu, Djarafuddin tak pernah lupa perjuangannya. Sesekali, ia berdoa. Menatap ke tanah, mengucapkan sebaris harapan. “Ya Allah, Tuhanku, berikan mereka surga.’’ (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: