Kedua, media massa perlu memberitakan adanya kemungkinan bencana yang lebih luas akan terjadi bila tidak ditangani sejak dini. Antisipasi dini tidak berkaitan hanya saat terjadi peristiwa bencana, itu berkaitan dengan early warning, tentang peringatan dini tanpa bermaksud menakut-nakuti.
Jangan menganggap peristiwa kebencanaan menjadi seksi hanya karena nilai berita magnitude (skala bencana yang besar, jumlah korban yang banyak, area bencana yang luas). Perlu ada pergeseran persepsi tentang nilai berita dalam konteks berita bencana.
Ketiga, media perlu lebih bervariatif dalam menampilkan angle peristiwa bencana. Jangan terlalu mengumbar kisah sedih korban di pengungsian atau kebutuhan mereka yang diperlukan pada saat bencana terjadi.
Namun, beritakanlah kisah sukses inspiratif, menggambarkan resiliensi korban bencana sebagai sosok yang berdaya menghadapi tantangan hidup yang dihadapinya.
Keempat, media seharusnya melakukan riset sendiri untuk memetakan potensi kebencanaan daripada menggantungkan pada keterangan ahli. Jangan sampai media dikendalikan narasumber.
Media seharusnya lebih memperbanyak referensi dalam kegiatan reportase kebencanaan. Wartawan perlu memanfaatkan dokumentasi yang beragam yang kemudian diolah dalam bentuk berita.
Ke depan, wartawan harus berperan lebih aktif dalam menyampaikan informasi yang relevan dan membantu membangun ketahanan masyarakat terhadap ancaman bencana.
Pemberitaan yang akurat, mendalam, dan edukatif tidak hanya akan membantu masyarakat dalam menghadapi bencana, tetapi juga meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya mitigasi risiko bencana. (*)
*) Yayan Sakti Suryandaru adalah dosen Departemen Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya, dan engarang buku Matinya Jurnalisme Lingkungan?.