Voucher pada dasarnya adalah instrumen yang diterbitkan prinsipal (pemerintah) yang dapat dipergunakan oleh pemegangnya (penerima/sasaran program) untuk menerima layanan atau manfaat yang diberikan oleh penyedia layanan.
Definisi itu menggarisbawahi peran voucher dalam memfasilitasi lingkungan seperti pasar dalam layanan publik, mendorong persaingan, dan menawarkan lebih banyak pilihan dan kendali kepada pengguna atas layanan yang mereka terima.
Dalam konteks MBG, Badan Gizi Nasional sebagai (prinsipal) regulator hanya perlu menerbitkan voucher dan menyiapkan kriteria ataupun standar bagi setiap pelaku usaha yang ingin menjadi penyedia layanan MBG.
Sementara itu, penyedia layanan cukup mengikuti kriteria tersebut dan mendaftar pada Badan Gizi Nasional, semua pelaku usaha boleh mendaftar, asalkan memenuhi kriteria yang ditetapkan dari sisi nutrisi maupun kriteria lain yang relevan, termasuk kriteria kapasitas kemampuan penyediaan layanan MBG.
Pihak siswa melalui sekolah/entitas lain (sebagai penerima program) mendapatkan alokasi voucher dan dapat memilih dengan leluasa menu MBG yang sesuai dengan kebutuhan mereka dengan memilih pada katalog layanan yang terdaftar pada daftar Badan Gizi Nasional.
Agar dinamis secara nutrisi dan menciptakan tata kelola yang memitigasi pemburu rente, setiap sekolah diwajibkan untuk membelanjakan voucher tidak di tempat yang sama setiap hari, minggu, atau bulan sesuai petunjuk teknis.
Model aransemen kelembagaan tersebut tentu masih terbuka untuk disempurnakan sesuai dengan kondisi lapangan.
Jika kemudian model itu dinilai terlalu liberal, sudah saatnya sisi model ekonomi kerakyatan untuk memberikan pendapat kedua sebagai alternatif lainnya.
Toh, ideologi ekonomi suatu negara bisa bergeser secara drastis bergantung pendulum politik. Namun, sudah menjadi tugas kita untuk menjadi bagian dari solusi, bukan kritik basi. (*)
*) Rachmat Hidayat adalah analis kebijakan publik dan dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Indonesia Mandiri.