Fenomena itu dapat disebabkan opini, rumor kebangkrutan, atau krisis kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan. Bisa juga ditimbulkan dari hilangnya kepercayaan dari nasabah bank.
Itu bisa terjadi karena berbagai faktor seperti kesalahan manajemen perbankan, adanya korupsi di bank, atau kondisi krisis ekonomi dalam negara. Jika tidak segera diatasi, rush money dapat mengakibatkan likuiditas bank terganggu dan memicu keruntuhan finansial yang lebih luas.
Pada konteks perbankan global, goyahnya Silicon Valley Bank (SVB) di AS pada 2023 dan Credit Suisse merupakan contoh riil betapa sulitnya mengendalikan isu atau opini liar yang bernada ajakan untuk melakukan bank run di tengah era media sosial dan keterbukaan informasi.
Begitu juga di Indonesia, isu bank run biasanya muncul selepas terjadi gejolak politik. Terlebih, apabila mulai muncul oknum yang sengaja memainkan sisi psikologis masyarakat, memanfaatkan kondisi masyarakat tanah air yang notabene masih rapuh dan kerap mudah percaya dengan hoaks.
Kuatnya pengaruh opini dapat membentuk persepsi publik akan bentuk afirmasi yang menggiring mereka untuk melakukan sesuatu aktivitas yang memancing rush money. Dengan demikian, adanya ajakan untuk tarik uang massal di sejumlah bank pelat merah harus disikapi serius oleh pemerintah.
Kita perlu berkaca pada tragedi rush money saat krismon tahun 1998 yang sempat menggoyahkan perekonomian yang juga bermuara dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem lembaga keuangan nasional.
Meski demikian, menurut hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap 14.634 responden, total indeks literasi mencapai 49,68 persen.
Itu meningkat ketimbang periode 2019 yang mencapai 38,03 persen. Terkhusus literasi terhadap sektor perbankan, tercatat masih menjadi yang tertinggi ketimbang sektor jasa keuangan lain, yakni mencapai 49,93 persen, juga naik dari periode sebelumnya atau SNLIK 2019 yang ketika itu hanya 36,12 persen.
Di samping itu, adanya mandat pelaporan kinerja berkala bagi seluruh bank di Indonesia merupakan indikator penting bagi nasabah dalam rangka mempermudah pengawasan publik dan pelibatan mereka dalam dinamika aktivitas perbankan.
Dengan demikian, apabila terjadi merebaknya isu bank run kembali mengemuka, minimal nasabah tidak akan terlalu emosional dan bisa berpikir dengan kepala dingin dan logis.
Ketika memiliki literasi keuangan dan inklusi keuangan yang baik, masyarakat secara otomatis juga mampu memilih dan memilah informasi finansial yang layak bagi diri sendiri.
Oleh karena itu, dengan adanya ajakan atau opini yang bernada rush money yang tidak dilandasi data-data finansial yang reasonable, niscaya masyarakat mampu menghindarkan diri dari risiko yang tidak diinginkan. (*)
*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership.