Ketidakpastian Dunia dan Isinya: Perspektif Filsafat Agama

Kamis 06-03-2025,08:33 WIB
Oleh: Muhammad Turhan Yani*

Itu sebagaimana firman-Nya: Kullu nafsin dzaiqatul maut, ’Setiap makhluk yang bernyawa pasti mati’. 

Dalam pandangan salah satu aliran teologi Islam, manusia memiliki kebebasan menentukan nasibnya sebagaimana pandangan aliran Qadariyah dengan tokoh utama Ma’bad Al-Juhaini (wafat 699 M) dan Ghailan Al-Dimashqi (wafat 722 M). 

Aliran Qadariyah memiliki keyakinan dan pandangan bahwa segala tindakan atau perbuatan manusia tidak diintervensi Tuhan. Aliran itu beranggapan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan kehidupannya seperti apa.

Meski demikian, faktanya, sebebas apa pun manusia tetap berada dalam keterbatasan dan ketidakpastian, tidak bisa menjamin kepastian hidupnya seperti apa dan bagaimana nasibnya. 

Faktanya, kehidupan manusia akan berakhir pada titik finis. Ibarat burung terbang tinggi, ke mana pun akhirnya juga hinggap ke bumi. Demikian juga ke mana pun manusia pergi, jarak pendek atau jauh, akan berujung pada titik finis. 

Di sanalah kekuasaan Tuhan menjadi sentral dari seluruh makhluk. Walau diberi kebebasan dengan akal-pikiran, manusia tetap dalam kendali Tuhan. 

Pendapat itu sebagaimana dikemukakan pendiri Ahlussunnah Waljamaah dengan tokoh utama Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (wafat 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (wafat 944 M). 

Paham Ahlussunnah Waljamaah yang moderat itu kemudian menjadi paham yang diikuti organisasi keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lain sebagainya.

KETERBATASAN MANUSIA DI TENGAH KETIDAKPASTIAN

Manusia dalam urusan sekecil apa pun, termasuk dalam jangka pendek atau panjang, tidak memiliki kapasitas untuk memastikan, mengapa? 

Sebab, semuanya terikat dengan kesempatan hidup yang dijalani. Kesempatan tersebut bukan milik manusia secara mutlak, melainkan hanya diberi pinjaman waktu oleh Sang Pencipta. 

Oleh karena itu, dalam agama diajarkan apabila berjanji diperintahkan untuk mengucapkan kata ”insya Allah”. 

Penyertaan insya Allah dalam sebuah janji sebagai suatu kesadaran transendental Ilahi bahwa kehidupan di dunia bukan milik manusia, melainkan milik Tuhan secara mutlak.

Namun, di sisi lain, manusia seakan-akan dapat memastikan untuk besok, pekan depan, bulan depan, dan seterusnya sebagai suatu kepastian. Padahal, itu sesungguhnya sekadar perkiraan. 

Mengapa? Sebab, kesempatan hidup seseorang kapan saja dapat bisa diambil Sang Pemilik, yang kadang juga mengagetkan bagi sebagian orang.  

Kadang seseorang dengan kesehatan prima merasa bahwa hidupnya masih lama. Namun, ternyata kalkulasi manusia berbeda dengan kehendak dan takdir Tuhan. 

Kategori :