Ketidakpastian Dunia dan Isinya: Perspektif Filsafat Agama

Kamis 06-03-2025,08:33 WIB
Oleh: Muhammad Turhan Yani*

Fakta menunjukkan, ada seseorang yang kepergiannya (meninggal) mengagetkan banyak orang. Misalnya, kemarin baru bertemu. 

Bahkan, ada yang lebih mengagetkan lagi: saat duduk bersama sedang menguji disertasi, sedang mengisi pengajian, sedang salat, sedang rapat, dan seterusnya, tiba-tiba Tuhan memanggilnya. 

Boleh jadi, itu sebagai panggilan darurat, yang dalam perspektif filsafat agama disebut panggilan spesial bahwa Tuhan ingin bertemu segera. 

Sekalipun, di sisi lain, dalam persepsi manusia, itu dianggap kepergian mendadak dan mengagetkan karena dianggap masih sehat dan tidak diduga secepat itu akan meninggalkan kehidupan.

Sesungguhnya Tuhan memiliki kehendak lain yang tidak semua manusia memahami sebagai kehendak terbaik. Contohnya, Tuhan berkehendak mengundang secara spesial seseorang untuk menghadap. 

Sebagai orang beragama menyikapi fakta demikian, ungkapan yang disampaikan adalah mengucapkan innalillahi wainna ilaihi rojiun atau yang dikenal dengan ungkapan telah pulang ke rahmatullah. 

Artinya, manusia kembali kepada Zat Yang Maha Sayang sebagai tempat pulang yang abadi dan pasti karena Tuhan sebagai pemilik kepastian dan pemilik kehidupan. 

Kepastian berupa kematian kadang datang dalam waktu cepat atau lambat. Akan tetapi, semuanya akan menuju pada titik finis yang sama sebagai terminal terakhir kehidupan. 

Peristiwa kematian yang terjadi biasanya menggemparkan banyak pihak, apalagi kalau yang meninggal adalah tokoh publik.

Sahabat dekat akan merasa kaget saat mendengarnya sambil merenung betapa cepat kehidupan ini. 

Kemarin masih hidup dan berjanji besok akan bertemu dalam rapat, kegiatan bersama, menguji, melunasi utang, membeli rumah, dan seterusnya. Ternyata, yang pasti (kematian) telah datang kepadanya. 

Artinya, semua yang direncanakan manusia berupa janji atau lainnya dalam keadaan tidak pasti. 

Dalam filsafat agama, kematian disebut kepastian mutlak sebagai salah satu bagian dari ontologi (hakikat sesuatu) bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan sebagai pemilik mutlak dan pemilik kepastian. 

Sebaliknya, manusia hanya memiliki hak guna atau hak pakai dalam kehidupan. Kesadaran macam itu mengajarkan agar seseorang tidak sampai terlena dengan mengejar dunia membabi buta sampai lupa kewajiban utamanya, yakni beribadah kepada Tuhan. 

Merugilah seseorang yang dikendalikan dunia. Sebab, hal demikian tidak akan membuatnya bahagia secara hakiki. 

Sebaliknya, beruntunglah seseorang yang dapat mengendalikan dunia sehingga urusan dengan Tuhan dan kelangsungan hidupnya tidak terabaikan. Itulah yang dalam filsafat agama disebut manusia yang cerdas dan bijaksana.

Kategori :