Karena itu, para politikus selalu mencari ”dekengan” dana dari para pengusaha. Sebagai imbalannya, para pengusaha itu akan mendapatkan proyek-proyek dari pemerintah.
Hubungan itu disebut sebagai ”klientelisme”, hubungan patron-klien antara bandar dan politisi. Pola hubungan tersebut menjadikan demokrasi di Indonesia seperti barang dagangan.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot mengungkap praktik itu dalam buku Democracy for Sale (2019). Praktik jual beli tersebut berlangsung dalam bentuk money politics, ’politik uang’, dan vote buying, ’jual beli suara’.
BACA JUGA:Prabowo Undang Para Pengusaha ke Istana, Ada Boy Tohir, Chairul Tanjung, hingga Aguan
BACA JUGA:Prabowo Tak Mau Danantara Diisi Orang-orang Titipan
Di setiap kontestasi politik, praktik jual beli itu sudah dianggap sebagai praktik yang lumrah. Serangan fajar menjadi kosakata yang identik dengan jual beli suara. Istilah NPWP lebih dikenal sebagai idiom jual beli suara ketimbang istilah perpajakan.
Presiden Prabowo menghadapi persoalan anggaran yang pelik. Program makan siang gratis menjadi program hidup mati bagi Prabowo. Ia membutuhkan ratusan triliun untuk mendanai program itu.
Prabowo membutuhkan bantuan para taipan untuk mendapatkan dana tersebut. Pola patron-klien sangat mungkin ditawarkan Prabowo untuk bisa mendapatkan bantuan dari para taipan.
BACA JUGA:Prabowo Ucapkan Selamat Puasa, Pastikan Harga Pangan Stabil dan Siapkan Diskon Tiket Mudik!
BACA JUGA:Prabowo Upayakan Karyawan Sritex Bisa Bekerja Lagi, Tim Kurator Sedang Nego Dengan Investor Baru
Para taipan China sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah Indonesia. Presiden Soeharto terkenal dengan hubungannya yang sangat lekat dengan Lim Sioe Liong. Kepada para taipan itulah Pak Harto menaruh harapan supaya ekonomi Indonesia bisa tumbuh cepat.
Pak Harto membesarkan para konglomerat itu dengan memberi mereka berbagai konsesi dan monopoli. Strategi pembangunan ekonomi Pak Harto bertumpu pada teori ”trickle down effect”. Ketika kue pembangunan sudah sangat besar, akan terjadi luberan ke bawah.
Karena itu, Pak Harto membesarkan para konglomerat tersebut. Menjadikan mereka sebagai mesin pertumbuhan. Lalu, pada saatnya luberan ke bawah akan membawa pertumbuhan ekonomi yang bisa menetes kepada rakyat.
BACA JUGA:Prabowo Evaluasi 130 Hari Kabinet, Pastikan Program Prioritas Berjalan On Track
Pak Harto memagang kontrol terhadap para taipan itu. Mereka boleh menjadi raja di bidang ekonomi. Namun, mereka tidak boleh cawe-cawe di bidang politik. Pak Harto mengontrol sepenuhnya aktivitas politik dan tetap mengontrol aktivitas ekonomi para taipan itu.