Refleksi Ramadan: Berharap Kepemimpinan Indonesia yang Lebih Empatik

Senin 17-03-2025,07:33 WIB
Oleh: H. Abdul Azis*

PUASA bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga momen refleksi yang dapat mengasah keterampilan kepemimpinan yang lebih empatik dan berintegritas sehingga bermartabat memberikan kemanfaatan kepada sesama. 

Bulan Ramadan adalah saat yang penuh makna bagi umat Islam. Selain sebagai waktu untuk memperbanyak ibadah, bulan suci ini memberikan kesempatan untuk melakukan introspeksi diri, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan merenungkan keadaan sosial serta politik bangsa. 

Ramadan mengingatkan kita untuk memperbaiki kualitas diri agar menjadi insan yang lebih baik. Dalam konteks Indonesia, renungan itu juga dapat memperdalam kesadaran kita tentang pentingnya pemimpin yang tepat untuk negara. 

BACA JUGA:Ramadan, Momentum Menahan Diri dari Pinjol

BACA JUGA:Ramadan dan Antropologi Rasa

Salah satu ancaman besar bagi kemajuan bangsa adalah kepemimpinan yang didorong oleh gangguan kepribadian, terutama narsistik. Dalam refleksi Ramadan ini, marilah kita bersama berdoa agar Indonesia dijauhkan dari bahaya pemimpin dengan kecenderungan narsistik menuju Indonesia emas yang penuh kemakmuran dan keadilan.

BAHAYA PEMIMPIN NARSIS

Dalam istilah psikologi, kita mengenal narcissistic personality disorder (NPD), yaitu gangguan kepribadian yang ditandai dengan perasaan diri yang sangat besar, keinginan untuk dipuja, dan kurangnya empati terhadap orang lain. 

Individu dengan gangguan itu sering kali merasa superior dan cenderung mengabaikan kebutuhan serta kepentingan orang lain demi mempertahankan citra diri mereka. 

BACA JUGA:Ramadan, Momentum untuk Melawan Darurat Korupsi

BACA JUGA:Ramadan dan Lebaran: Momentum Mencetak Generasi Unggulan

Dalam konteks kepemimpinan negara, narsisme menjadi bahaya yang sangat besar. Pemimpin yang menderita NPD cenderung menggunakan kekuasaan dan citra mereka untuk mempertahankan pengaruh pribadi, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Pemimpin dengan NPD lebih fokus pada pencitraan diri dan kekuasaan pribadi daripada menjalankan tugas mereka untuk memajukan bangsa. Dalam teori psikologi, narsisme tidak hanya menggambarkan rasa cinta diri yang berlebihan, tetapi juga ketidakmampuan untuk mengasihi orang lain. 

Dalam Islam, sifat itu bertentangan dengan prinsip-prinsip luhur seperti ukhuwah (persaudaraan), tawaduk (kerendahan hati), dan adil (keadilan), yang seharusnya menjadi dasar bagi seorang pemimpin. Rasulullah SAW bersabda:

Barang siapa yang tidak mengasihi (rakyatnya), maka ia tidak akan dikasihi (oleh Allah).” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Kategori :