BACA JUGA:Momentum Puasa Ramadan: Jalin Hubungan Baik dengan Alam Semesta
BACA JUGA:Manfaat Puasa Ramadan bagi Sistem Kekebalan Tubuh
Hadis itu menekankan pentingnya kasih sayang, perhatian, dan empati terhadap orang lain, terutama bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin dengan narsisme, yang kurang empati, dan hanya mementingkan dirinya jelas bertentangan dengan ajaran Islam itu.
Di Indonesia, kita pernah mengalami sejarah panjang yang mencatatkan pemimpin-pemimpin dengan kecenderungan narsistik yang mendalam, yang lebih mengutamakan citra dan pengaruh politik daripada kesejahteraan rakyat.
Pemimpin semacam itu sering kali menggunakan media untuk membangun image diri yang positif meski kenyataannya jauh dari itu. Ketika pemimpin lebih mementingkan popularitas dan kekuasaan, program-program yang seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat pun menjadi terabaikan.
BACA JUGA:Mengenal Mindful Eating Menjelang Ramadan untuk Puasa Lebih Sehat
BACA JUGA:5 Buah Pilihan Nabi Muhammad SAW untuk Ramadan
GEJALA NARSISTIK DALAM POLITIK INDONESIA
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman dan memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju. Namun, potensi tersebut sering kali terkendala oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri. Salah satunya adalah kepemimpinan yang tidak memadai.
Gejala narsistik dalam politik Indonesia sering kali terlihat dalam berbagai bentuk, mulai penguasa yang lebih mementingkan pencitraan diri daripada memberikan solusi konkret bagi masalah rakyat hingga penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Bahkan, dalam konteks pemilu dan pemilihan kepala daerah, kita sering kali menyaksikan bagaimana para calon pemimpin lebih fokus pada bagaimana mereka dipandang oleh publik daripada memperkenalkan kebijakan yang jelas dan bermanfaat bagi masyarakat.
BACA JUGA:Rawat Diri Anda ketika Ramadan, Begini Caranya
BACA JUGA: Simak Caranya, Penyandang Diabetes Melitus Bisa Tetap Bugar di Bulan Ramadan!
Kampanye politik yang terlalu menonjolkan citra pribadi tanpa menawarkan visi-misi yang konkret acap kali menyesatkan pemilih. Sebab, mereka memilih berdasarkan simpati pribadi, bukan berdasarkan kemampuan calon pemimpin untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi negara.
John Watson, seorang psikolog terkenal dengan teori behaviorisme, berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi lingkungan dan pembelajaran. Ia menekankan bahwa manusia tidak dilahirkan dengan sifat tertentu, tetapi sifat-sifat tersebut berkembang dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan.
Itu berarti bahwa seorang pemimpin dapat belajar untuk menjadi lebih baik berdasarkan pengaruh lingkungan dan respons terhadap tantangan yang dihadapi. Pemimpin yang tumbuh dalam lingkungan yang mendukung nilai-nilai seperti keadilan, empati, dan kerja sama akan cenderung menampilkan perilaku yang lebih positif dan lebih memperhatikan kepentingan rakyat.