Transformasi Ekonomi ala Prabowonomics: Solusi atau Delusi?

Selasa 01-04-2025,22:27 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Sebenarnya, konsep prabowonomics itu mengingatkan pada rekam jejak kebijakan Begawan Ekonomi Prof Soemitro Djojohadikoesoemo, ayahanda Presiden Prabowo yang merupakan sosok ekonom yang pernah memainkan penting besar dalam perjalanan ekonomi Indonesia, mulai Orde Lama pada era Presiden Soekarno hingga pada awal Orde Baru masa Presiden Soeharto. 

Namun, tidak seperti Soemitro yang fleksibel dalam membaca perubahan zaman, Prabowo tampaknya lebih keukeuh pada konsep ekonomi yang cenderung memberikan peran lebih dominan kepada negara, seakan ingin mereduksi peran sektor swasta, dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia –terutama pasca terbentuknya Danantara– dan mengontrol ruang bagi geliat dinamika pasar. 

Pertanyaannya, apakah strategi itu akan berhasil membawa Indonesia ke arah yang lebih baik atau hanya mengulang kegagalan historis sang ayahanda?

INDUSTRI BERBASIS NILAI TAMBAH

Fundamental ekonomi Indonesia beberapa dekade terlalu bergantung pada basis komoditas yang minim inovasi dan tanpa nilai tambah. Misalnya, penerimaan negara dari ekspor yang masih didominasi komoditas batu bara, crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah, dan nikel. 

Deindustrialisasi dan perlambatan ekonomi yang terjadi pasca-commodity boom atau era tingginya harga dan permintaan komoditas sumber daya alam (SDA) pada era 2009–2014 seharusnya menjadi alarm bahwa Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada ekspor bahan mentah. 

Padahal, harga komoditas selalu fluktuatif mengikuti ritme harga pasar global. Ketika harga komoditas jatuh, penerimaan negara sektor SDA akan menurun drastis. Konsekuensinya, Indonesia kembali mengandalkan sektor konsumsi rumah tangga untuk menopang perekonomiannya. 

Melalui terobosan prabowonomics dengan menekankan pentingnya hilirisasi sumber daya alam, yakni memaksimalkan pengolahan hasil sumber daya di dalam negeri, alih-alih hanya mengekspor bahan mentah. 

Kebijakan itu bertujuan menciptakan nilai tambah, membuka ribuan bahkan jutaan lapangan kerja, dan meningkatkan penerimaan negara. Nilai tambah yang diperoleh dari kebijakan hilirisasi memang memiliki dampak besar. 

Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan, jika berupa bijih nikel, harganya hanya 30 dolar AS per ton. Namun, saat diolah lebih lanjut menjadi nickel pig iron (NPI), harganya naik 3 kali lipat menjadi USD 90 per ton. 

Selanjutnya, apabila berupa ferronickel, harga nikel ore naik 6,76 kali atau menjadi USD 203 per ton, lalu menjadi produk nikel matte naik 43,9 kali lipat menjadi USD 1.317 dolar, dan dijadikan mix hydro precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai meningkat 120,94 kali menjadi USD 3.628 per ton. 

Terlebih, jika nanti terdapat pabrik baterai yang mengubah bijih nikel menjadi LiNiMnCo di Indonesia, nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat. Saat ini, terdapat 34 smelter nikel yang sudah beroperasi dan 17 smelter sedang dalam konstruksi yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Banten (Kemenperin 2023). 

Investasi yang telah dibenamkan di Indonesia dari smelter tersebut sebesar USD 11 miliar atau sekitar Rp 165 triliun untuk jenis pyrometalurgi dan USD 2,8 miliar atau sekitar Rp 40 triliun untuk hydrometalurgi yang memproduksi MHP sebagai bahan baku baterai. 

Keberadaan sejumlah smelter tersebut turut mendongkrak perekonomian daerah. Di Sulteng, pertumbuhan ekonomi meningkat dari rata-rata 7 persen menjadi 15 persen. Serupa di Maluku Utara, sebelumnya rata-rata pertumbuhan di angka 5,7 persen, setelah hilirisasi, menjadi 23 persen dalam setahun. 

Demikian pula, dilihat dari tingkat penyerapan tenaga kerjanya, untuk Sulteng, dari 1.800 naik menjadi 71.500 tenaga kerja. Sementara itu, di Maluku Utara, sebelum hilirisasi hanya tercatat 500 tenaga kerja dan kini melonjak menjadi 45.600 pekerja.

Terlebih, bergabungnya Indonesia dalam kaukus ekonomi BRICS yang dimotori Tiongkok dan Rusia akan memberi ruang seluas-luasnya bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi, baik produk ekspor unggulan maupun pasar tujuan ekspor. 

Kategori :