Bait lainnya juga memotret suasana Lebaran di era 1950-an, menggambarkan kehidupan kala itu. Terutama kehidupan masyarakat desa yang datang ke kota dengan pakaian serba baru, menaiki trem dan berjalan-jalan hingga kakinya lecet, dalam lirik disebut lecet berabe. Itu digambarkan dengan jenaka.
Ismail Marzuki-Yovita Aridita-Pinterest
Dari segala penjuru mengalir ke kota
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik terem listrik perey
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tengteng selop terompe
Kakinya pada lecet babak belur berabe
Tak hanya itu, Ismail juga mendeskripsikan secara jelas perbedaan cara orang desa dan kota dalam merayakan lebaran.
Ia menyelipkan kritik tajam terhadap perilaku masyarakat kota yang menggunakan kesempatan itu untuk berjudi, bermanbuk-mabukan, hingga bersikap kasar pada istri.
BACA JUGA:5 Tradisi Lebaran Unik di Berbagai Daerah di Indonesia
Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam maen ceki mabuk brendy
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Gambaran lirik tersebut seperti menampar kaum urban pada masa itu. Mereka lekat dengan kekerasan dalam rumah tangga. Penggambaran itu tidak berbeda dengan kondisi Indonesia pasca kemerdekaan.