Badai Tarif Trump, Strategi Geopolitik atau Gertakan Dagang?

Rabu 09-04-2025,16:59 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Capaian tersebut meneguhkan posisi Negeri Paman Sam sebagai negara dengan perekonomian terkuat sejak 1960. Meski AS dianggap mendominasi perekonomian global selama beberapa dekade, terdapat beberapa tantangan ekonomi yang mengakibatkan negara raksasa ekonomi sekelas AS mengalami defisit. 

Di antaranya, biaya kesehatan yang makin membengkak dan belanja alat pertahanan nasional yang tiap tahun selalu meningkat, itu belum termasuk sejumlah paket bantuan militer bagi sejumlah negara satelitnya. 

Kemudian, pengeluaran bunga utang menjadi salah satu penyebab defisit anggaran. Di samping itu, sejumlah faktor lain yang turut berkontribusi terjadinya defisit ialah ketergantungan warga AS terhadap produk impor dari negara lain. 

Misalnya, produk elektronik dan farmasi dari Tiongkok. Ada pula masalah sosial seperti ketimpangan ekonomi dan kemiskinan yang kian meningkat. 

Kondisi itulah yang melatarbelakangi pemerintah AS untuk mengambil tindakan preventif dengan pemberlakuan tarif resiprokal guna menyeimbangkan kembali neraca perdagangannya.

Menurut sejumlah pakar strategik, kebijakan tarif Trump pada dasarnya merupakan bentuk tekanan geopolitik. Melalui kebijakan ekonomi yang sangat terkesan teknokratis, AS sejatinya tengah melakukan test the water kepada posisi negara-negara yang dianggap terlalu dekat dengan orbit kekuatan lain dan menjadi seteru bebuyutannya, yakni Tiongkok. 

Parameter ekonomi kini bisa dijadikan instrumen penekan, simbol keberpihakan, dan alat dalam perebutan kekuasaan dominasi global. 

Dalam lanskap yang demikian, ekonomi bukan lagi sekadar urusan angka, indikator pertumbuhan, atau sebagai bagian dari sebuah instrumen dinamika pasar, melainkan telah menjelma menjadi bagian integral dari strategi pertahanan nasional sebuah negara. 

Dan, sekarang ini tampaknya Trump sadar betul dan memanfaatkannya sebagai alat penekan kepada negara yang dianggap sebagai biang defisit negaranya. 

Tarif tinggi itu adalah bagian dari strategi decoupling atau de-risking AS dari rongrongan Tiongkok, tetapi dengan efek dominonya merembet ke negara-negara lain yang dianggap terlalu dekat dengan satelit ekonomi Beijing. 

Tak pelak, Indonesia –yang selama ini menjadi tujuan relokasi industri dari Tiongkok– mulai dipersepsikan sebagai bagian dari ”proksi dan rantai pasok Tiongkok”. Akibatnya, Indonesia harus rela ikut terkena imbas dari gebrakan Trump.

URGENSI KEBIJAKAN RESPONSIF 

Indonesia yang menerapkan politik bebas aktif harus mampu mengantisipasi dinamika perang dagang AS-Tiongkok yang makin eskalatif dengan sejumlah kebijakan mitigasi yang bersifat meredam. 

Bahkan, kalau bisa, mampu membalik keadaan dari hambatan menjadi peluang. Bebarapa kebijakan urgen yang perlu dieksekusi adalah, pertama, perluasan mitra dagang melalui diversifikasi negara tujuan ekspor. 

Dengan memanfaatkan keanggotaan BRICS, Indonesia memiliki banyak keuntungan karena hasil kesepakatan Deklarasi Kazan memungkinkan sesama anggota kaukus ekonomi, yang dimotori Rusia dan Tiongkok, saling memberikan keringanan tarif bea masuk. 

Kedua, percepatan hilirisasi yang meningkatkan nilai tambah barang tambang dan mineral. Makin tinggi nilai tambah akan meningkatkan penerimaan negara dari ekspor nonmigas. 

Kategori :