Dari sudut pandang psikologi evolusi, jawabannya bukanlah para pria itu takut bahwa mereka akan ditetapkan secara hukum sebagai ayah genetik anak tersebut melalui tes DNA yang diperintahkan pengadilan.
Kemudian, secara hukum diharuskan membayar tunjangan anak oleh pengadilan, dengan ancaman hukuman penjara jika mereka tidak mematuhinya.
Bukan karena alasan itu. Sebab, jika si pria menolak bertanggung jawab atau ogah menikahi ceweknya yang hamil, ia cukup meninggalkan ceweknya. Beres. Kabur tanpa tanggung jawab. Aman. Tidak perlu membunuh, yang bisa divonis hukuman mati.
Diulas, ada kemungkinan bahwa beberapa pria, dalam beberapa keadaan, merasa tidak mampu membiayai hidup anak mereka. Atau, tidak mau menikahinya karena berbagai alasan. Tetapi, dalam kasus seperti itu, tindakan yang paling jelas adalah kabur, menelantarkan mereka. Tidak ada alasan untuk membunuh mereka.
Pembunuhan terhadap anggota kelompok dalam (orang terdekat) selalu dikutuk keras sepanjang sejarah evolusi manusia. Maka, itu adalah tindakan yang ekstrem. Jadi, mengapa para pria tersebut melakukannya?
M. Cormier Bruno dalam karyanya yang bertajuk Psychodynamics of Homicide Committed in a Marital Relationship, dipublikasi di Corrective Psychiatry and Journal of Social Therapy (1982), menyebutkan: Uxoricide (pembunuhan terhadap istri atau pacar) sudah sering diteliti.
Disebutkan, pria yang membunuh pasangannya sesungguhnya mengalami ketergantungan bawah sadar pada istri mereka dan sekaligus kebencian terhadapnya.
Pria-pria itu ingin meninggalkan hubungan tersebut, tetapi tanpa sadar juga menganggap diri mereka terlalu tidak berdaya untuk melakukannya. Cinta, sekaligus benci. Konflik batin pelaku itu berpuncak pada keyakinan bahwa membunuh istri atau pacar adalah satu-satunya cara untuk terbebas darinya.
Pendekatan itu juga menjelaskan alternatif untuk contoh-contoh ketika seorang pria melakukan uxoricide, kemudian bunuh diri dengan segera. Pria itu mengakhiri hidupnya bukan karena rasa bersalah, melainkan karena ketidakberdayaan dan ketergantungan terhadap korban yang dirasakannya.
Penyebab uxoricide berdasar psikologi, pelaku mengalami kekerasan di masa kanak-kanak. Peneliti psikodinamik berpendapat bahwa menjadi korban pelecehan di masa kanak-kanak mengarah pada menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga di masa dewasa melalui jalur mekanisme pertahanan diri.
Tindak ekerasan adalah adaptasi defensif bawah sadar terhadap trauma masa kanak-kanak dan kejadian buruk lainnya.
Peneliti psikodinamik lainnya telah melaporkan bahwa tes apersepsi tematik mengungkapkan tren penolakan yang signifikan oleh seorang ibu atau istri pada pria, yang berpotensi jadi penyebab uxoricide.
Hubungan kumpul kebo punya tingkat perpisahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pernikahan. Dan, laki-laki dalam hubungan romantis jenis itu mungkin tidak merasa memegang kendali atas pasangan intim mereka dan mungkin merasa terancam oleh pesaing seksual laki-laki lain. Akibatnya, berpotensi uxoricide.
Penelitian menemukan bahwa sebagian besar kasus uxoricide terjadi setelah laki-laki percaya bahwa pasangan intim wanitanya tidak setia atau pasangan wanitanya mencoba mengakhiri hubungan.
Ternyata begitu rumit mengulas, mengapa pria membunuh pasangan kumpul kebonya? Tapi, bukan tugas polisi dan hakim untuk mengungkap itu. Mereka cuma menghukum orang yang bersalah secara hukum. Mereka fokus pada modus dan motif kejahatan.
Upaya menyingkap latar belakang pelaku, yang analisis hasil riset itu bermanfaat bagi masyarakat, adalah tugas ilmuwan. Tapi, belum pernah dilakukan di sini. (*)