HARIAN DISWAY - Di zaman serba digital, banyak orang memilih menuangkan perasaannya lewat media sosial. Fenomena itu terasa janggal. Karena secara logika, berbicara dengan orang terdekat seharusnya lebih aman dan menenangkan.
Namun, kenyataannya banyak yang justru merasa lega setelah membuat Story, tweet, atau unggahan panjang sebagai "curhat halus" ke publik.
Salah satu alasan utama adalah adanya kendali atas apa yang ingin dibagikan. Serta bagaimana cara menyampaikannya.
BACA JUGA:Curhat dan Dampaknya untuk Kesehatan Mental, Jangan Pendam Sendirian
Di media sosial, kita bisa mengatur kata-kata, memilih foto, menyunting cerita, bahkan menghapus unggahan jika dirasa terlalu pribadi.
Proses itu memberi rasa aman. Karena kita bisa memfilter emosi. Tanpa harus menerima respons langsung yang kadang justru membuat tidak nyaman.
Selain itu, media sosial memungkinkan kita untuk bercerita secara bebas. Tanpa kewajiban mendengarkan balasan yang panjang atau nasihat yang tidak diminta.
BACA JUGA:5 Alasan Utama Gen Z Mengandalkan ChatGPT untuk Curhat
Teman dekat sering kali memberikan tanggapan dengan niat baik. Tapi bisa terasa menghakimi atau membuat kita merasa bersalah.
Di sisi lain, keterbukaan kepada teman dekat membawa risiko yang tidak dimiliki oleh media sosial. Cerita yang dibagikan secara langsung bisa memengaruhi dinamika hubungan.
Ada rasa takut dianggap lemah, merepotkan, atau terlalu dramatis. Apalagi jika cerita itu menyangkut masalah yang berulang atau menyentuh aspek pribadi
BACA JUGA:Tralalero Tralala, Mengenal Fenomena yang Sedang Viral di Media Sosial
Menceritakan ke teman belum tentu aman karena justru akan membicarakan di belakang kita. -Raising Teens Today-Pinterest
Tak bisa dimungkiri, media sosial juga memberi rasa kebebasan tanpa beban sosial. Kita tidak harus menjaga mimik wajah, menahan tangis, atau memikirkan apakah lawan bicara merasa tidak nyaman.
Semua disampaikan lewat layar. Di waktu yang kita pilih sendiri, tanpa harus menghadapi tatapan atau reaksi yang sulit dihadapi.