Banyak yang mengecam sikap Jokowi yang pamer acara itu. Jokowi dianggap mengalami post power syndrome. Sudah pensiun, tapi masih berlagak presiden.
Jokowi sedang bermain roleplay. Istilah itu dipakai di media sosial seperti TikTok sebagai permainan yang dilakukan secara virtual dengan menirukan idola dalam segi sikap, cara bicara, hingga detail aktivitas keseharian.
Roleplay berarti mengambil peran karakter fiksi, selebritas, atau bahkan tokoh sejarah dan mengungkapkan diri melalui video pendek. Pengguna TikTok yang terlibat dalam permainan itu biasanya menciptakan konten yang mencerminkan karakter yang diperankan, termasuk dialog, tindakan, dan penampilan yang sesuai.
BACA JUGA:Ijazah Jokowi dan Streisand Effect
BACA JUGA:Adili Jokowi
Jokowi tidak sedang bermain TikTok. Ia bermain roleplay politik, membayangkan dirinya masih menjadi presiden. Roleplayer lainnya adalah sejumlah menteri yang rajin menyambanginya ke Solo. Bahkan, beberapa di antara mereka terang-terangan menyebut Jokowi sebagai bos.
Sebutan bos kepada Jokowi memunculkan reaksi luas dari beberapa kalangan. Ada yang menganggap bahwa hal itu menjadi indikasi adanya matahari kembar di perpolitikan Indonesia. Matahari satu ialah Prabowo di Jakarta, matahari dua Jokowi di Solo.
Bahlil Lahadalia sudah lebih dulu menyebut Jokowi sebagai raja Jawa dan mengingatkan supaya jangan main-main dengan barang itu. Kata Bahlil, barang itu mengerikan.
Sebutan kepada Jokowi makin lengkap. Dulu ada yang menyebutnya sebagai Pak Lurah. Sebutan tersebut mengacu kepada peran Jokowi sebagai semacam ”godfather” dalam politik Indonesia.
Sebutan itu menjadi kode politik yang merujuk kepada Jokowi. Sebutan Pak Lurah berkaitan dengan dukungan Jokowi terhadap anak dan menantunya dalam kontestasi pilpres dan pilgub 2024.
Jokowi memainkan peran-peran itu dengan sangat baik. Ia bisa berperan sebagai Pak Lurah. Ia juga bisa berperan sebagai raja Jawa. Sekarang ia berperan sebagai ”The Boss”. Peran-peran itu merupakan simbol-simbol kekuasaan. Peran-peran itu muncul dalam interaksi dalam proses kekuasaan.
Dalam perspektif interkasionisme simbolis, Jokowi memainkan perannya sesuai dengan apa yang dipersepsikan orang-orang di sekitarnya terhadap dirinya. Jokowi bertindak sebagai Pak Lurah karena memang ada orang-orang yang berperan sebagai anak buah lurah.
Ada yang bermain sebagai carik, ada yang menempatkan dirinya sebagai bayan. Ada yang bertindak sebagai kamituwa dan seterusnya.
Jokowi memainkan peran simbolis sebagai raja Jawa karena ia mengidentifikasikan kekuasaannya sebagai seorang raja. Dalam tradisi Jawa, seorang raja memperoleh kekuasaannya melalui wahyu atau pulung. Hanya orang-orang pilihan yang bisa mendapatkan wahyu kedaton yang bisa menjadikan seseorang menjadi raja.
Peran simbolis Jokowi sebagai raja Jawa menjadi lengkap karena ada patih yang mendampinginya. Pemegang peran patih itu bisa Luhut Binsar Pandjaitan atau Pratikno atau para confidante, ’orang-orang kepercayaan’. Para menteri menjadi pelengkap peran simbolis Jokowi sebagai raja Jawa.
Dalam tradisi keraton Jawa, seorang raja mempunyai abdi dalem yang menjadi pesuruh dan sekaligus menjadi penghibur sang raja. Jokowi dikelilingi para buzzer yang bertindak sebagai abdi dalem, yang selalu siap menyanjung dan memuji sang raja. Sang Raja juga punya abdi dalem yang sangat setia seperti Bahlil Lahadalia.