BACA JUGA:Ribuan Umat Buddha Khidmat Rayakan Malam Waisak 2024 di Candi Borobudur
Ia menambahkan, “Setiap orang bisa melampaui semuanya. Hingga menuju pencerahan jika mau mengamalkan ajaran itu dengan sungguh-sungguh.”
Kunci dari transformasi itu adalah Nam-myoho-renge-kyo. Yakni mantra agung yang dipercaya sebagai inti dari Hukum Mistik, hukum universal yang menggerakkan segala kehidupan.
Dalam ibadahnya, umat Nichiren Shoshu menggelar Gongyo (ritual pembacaan sutra) setiap pagi dan malam.
Didik Hartono, pandita utama Nichiren Shoshu memaparkan ajaran dalam Saddharmapundarika Sutra kepada umat Nichiren Shoshu.-Nichiren Soshu Surabaya-
BACA JUGA:Puja Bakti Umat Buddha di Grand City Surabaya, Dipimpin Banthe Kittichai
Mereka memusatkan penghormatan pada Gohonzon, mandala pusaka yang menjadi objek pemujaan utama.
Tidak ada patung Buddha dalam altar mereka. Karena keyakinan mereka tertuju pada pemusatan pikiran di hadapan Gohonzon, yang berisi tulisan suci yang memuat kebenaran universal.
Salah satu hal yang paling menarik dari Nichiren Shoshu adalah pandangan progresifnya terhadap kehidupan Bhikkhu.
Berbeda dari stereotip monastik yang menjauh dari dunia, para Bhikkhu di Nichiren Shoshu justru menjalani kehidupan seperti umat biasa. Mereka bisa menikah, bekerja, bahkan membesarkan anak.
"Bahkan dalam hal berpakaian, mereka tidak dibatasi hanya memakai jubah. Bhikkhu harus bersih dan nyaman ketika bersama umat. Maka dibolehkan mengganti pakaian. Boleh menggunakan pakaian sehari-hari, itu hal yang wajar,” ungkap pria 38 tahun itu.
Selain ritual harian seperti Gongyo dan Daimoku (pengulangan mantra), umat juga diajak melakukan Dana Paramita. Yakni semacam sumbangsih sosial yang disebut sebagai "pertapaan melompat."
BACA JUGA:Sejarah Sarung, dari Hindu-Buddha Hingga Menjadi Identitas Santri Nusantara
Bukan hanya memberi secara materi. Tapi juga melompati ego diri sendiri demi membantu orang lain yang membutuhkan. Bagi umat Nichiren Shoshu, itulah bentuk nyata dari praktik bodhisattva dalam kehidupan modern.
Dalam kerangka waktu Buddhis, kehidupan setelah kematian Sakyamuni dibagi dalam tiga fase: Zaman Saddharma (ajaran sejati), Zaman Pratirupa Dharma (bentuk simbolik seperti kuil dan patung), dan Zaman Akhir Dharma, masa ketika ajaran mulai pudar.