Fenomena Viral Ketika Algoritma Internet Menentukan Apa Yang Keren

Jumat 16-05-2025,11:00 WIB
Reporter : Ivo Irvansyah*
Editor : Guruh Dimas Nugraha

HARIAN DISWAY - Di era digital saat ini, banyak hal menjadi populer bukan karena kualitasnya semata. Melainkan karena telah dipilih oleh algoritma untuk muncul di layar kita.

Dari lagu yang mendadak trending, produk yang mendominasi FYP (For Your Page), hingga gaya hidup yang dianggap "keren" karena muncul di banyak feed.

Semua itu sering kali dipengaruhi oleh algoritma media sosial dan mesin pencari. Lantas, sejauh mana algoritma membentuk selera dan persepsi kita? 

Algoritma Internet 

Secara sederhana, algoritma internet adalah serangkaian instruksi otomatis yang digunakan oleh platform digital (seperti TikTok, Instagram, YouTube, hingga Google) untuk menyaring dan merekomendasikan konten kepada pengguna.

BACA JUGA:Perlukah Etika Mengucapkan Tolong dan Terima kasih Kepada AI?

Algoritma itu menganalisis perilaku pengguna. Seperti apa yang ditonton, disukai, dibagikan, atau dikomentari. Lalu menampilkan konten serupa yang dinilai paling mungkin menarik perhatian netizen. 

Viral Bukan Lagi Soal Kualitas


Dengan adanya algoritma, sebuah konten bisa saja viral dan dianggap keren meskipun terlihat receh dan tidak melulu soal keindahan isinya--Trip & Travel Blog

Dulu, sebuah karya bisa populer karena segi kualitas, prestasi, atau pengaruh budayanya. Kini, konten bisa viral karena berhasil memicu interaksi algoritma, entah lewat klikbait, emosi, atau keanehan.

Video receh, meme absurd, atau tren sederhana bisa lebih cepat viral dibanding karya seni berkualitas tinggi. Dengan kata lain, yang dianggap “keren” hari ini bukan selalu karena substansi. Tapi karena visibilitas yang diberikan algoritma.

BACA JUGA:Membiarkan Alat Elektronik Menyala, Pola Konsumsi Baru yang Boros?

Tanpa disadari, kita mulai mengasosiasikan sesuatu sebagai “keren” atau layak diikuti karena sering melihatnya. Misalnya:

  • Lagu yang sering muncul di Reels atau TikTok dianggap trendy, meski bukan rilisan baru.

  • Outfit atau konsep estetik tertentu menjadi viral karena dipakai influencer yang muncul di explore.

  • Produk tertentu jadi incaran karena muncul berulang kali dalam review atau haul video.

BACA JUGA:Fenomena Earworm, Saat Lagu Catchy Terjebak di Kepala

Itu adalah bentuk normalisasi selera melalui paparan algoritmis tentang apa yang sering terlihat, menjadi kebiasaan, lalu dianggap keren.

Sisi Positif & Negatif


FOMO (Fear of Missing Out) bisa terjadi akibat seseorang terlalu berpacu pada tren atau tingkat ke-viralan sebuah konten--Psychology Today

Positifnya, algoritma memberi peluang siapa pun untuk viral tanpa perlu koneksi atau modal besar. Banyak kreator yang baru merintis dan brand kecil mendapatkan spotlight karena algoritma.

BACA JUGA:Mengenal Blue Mind, Ketika Seseorang Merasa Lebih Tenang di Dekat Laut

Namun negatifnya, kita jadi rentan mengikuti tren tanpa berpikir kritis. Tren yang viral bisa cepat usang, menciptakan siklus FOMO (Fear of Missing Out), bahkan memengaruhi kesehatan mental atau citra diri.

Penting untuk menyadari bahwa tidak semua yang viral pantas dianggap keren. Kita perlu kembali mengembangkan filter pribadi dalam mengonsumsi konten digital. Tidak ada salahnya mengikuti tren. Selama itu selaras dengan minat dan kebutuhan kita sendiri.

Di era digital, algoritma internet punya potensi besar dalam menentukan apa yang kita lihat, suka, dan bahkan dianggap keren.

BACA JUGA:Bombombini Gusini, Ketika Absurd Bertemu AI dalam Fenomena Italian Brainrot

Namun, kita tetap punya kendali untuk memilih apa yang kita konsumsi dan yakini. Jangan biarkan algoritma sepenuhnya menentukan identitas dan selera kita. (*)

*) Mahasiswa magang dari Prodi Sastra Inggris, Universitas Negeri Surabaya.

Kategori :