Self-Diagnose Mental Health di TikTok: Solusi atau Bahaya?

Self-Diagnose Mental Health di TikTok: Solusi atau Bahaya?

Saat rasa cemas atau sedih terus muncul, barangkali bukan video TikTok yang dibutuhkan, melainkan telinga seorang profesional yang siap mendengarkan secara utuh. -studioroman-

HARIAN DISWAY - Di tengah derasnya arus informasi digital, semakin banyak anak muda yang menjadikan media sosial sebagai rujukan untuk memahami kondisi psikologis diri.

Video-video berdurasi singkat yang membahas isu kesehatan mental, seperti gejala burnout, trauma masa kecil, hingga gangguan kecemasan, kini mudah ditemui di platform seperti TikTok.

Dengan penyampaian yang sederhana dan "relatable", konten semacam ini kerap menyedot perhatian dan dibagikan secara masif. Namun, di balik kemudahan akses tersebut, muncul kekhawatiran: apakah tren ini benar-benar membantu, atau justru memunculkan risiko seperti salah diagnosis dan kecemasan berlebih?

BACA JUGA: 4 Risiko Kesehatan Mental yang Mengintai di Balik Ketenaran Para Selebritas

Berdasarkan survei Pew Research Center (2023), Gen Z merupakan generasi yang paling aktif mencari informasi kesehatan mental secara daring. Hal ini didorong oleh meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa.

Juga keterbukaan mereka terhadap isu-isu psikologis. TikTok, dengan algoritmanya yang cepat menangkap preferensi pengguna, menyediakan konten-konten yang dianggap "relatable" dan mudah dipahami.


Banyak dari konten tersebut tidak disertai sumber yang jelas, bahkan kadang didasarkan pada pengalaman pribadi yang belum tentu relevan untuk semua orang. --iStock

Psikolog klinis, dr. Astrid Wenas, M.Psi., menyebutkan bahwa tren ini menunjukkan adanya kemajuan. Generasi sekarang lebih terbuka dan berani membicarakan kesehatan mental dibanding generasi sebelumnya. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai hal yang tabu.

BACA JUGA: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental dengan Me Time

Tidak bisa dimungkiri, konten psikologi populer telah menjadi pintu masuk yang efektif untuk edukasi awal. Banyak orang yang awalnya tidak menyadari kondisi psikologisnya menjadi lebih peka terhadap perubahan emosi dan perilaku diri.

Beberapa dari mereka bahkan terdorong untuk mencari bantuan profesional setelah melihat konten semacam itu. Selain itu, tren ini turut membantu menghapus stigma terhadap gangguan kejiwaan.

Label seperti “depresi”, “anxiety”, atau “trauma” kini tidak lagi dianggap sebagai aib, melainkan sebagai kondisi medis yang bisa dipahami dan ditangani. Namun, ada sisi lain yang perlu diwaspadai.

Banyak dari konten tersebut tidak disertai sumber yang jelas, bahkan kadang didasarkan pada pengalaman pribadi yang belum tentu relevan untuk semua orang. Dampaknya, muncul kecenderungan untuk melakukan self-diagnosis atau mendiagnosis diri sendiri secara gegabah.


Video-video berdurasi singkat yang membahas isu kesehatan mental, seperti gejala burnout, trauma masa kecil, hingga gangguan kecemasan, kini mudah ditemui di platform seperti TikTok. - cottonbro studio - Pexels

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: