Banyaknya kejadian taruwan anterkelompok remaja di Surabaya harus dijadikan alarm bahwa krisis moral sedang terjadi pada anak-anak, terutama yang sedang beranjak remaja. Ia menilai, kasus seperti itu bukan sekadar tanggung jawab orang tua semata. ”Ada tanggung jawab lain yaitu sekolah, masyarakat, dan negara,” tegasnya.
Karena itu, ia meminta peran aktif negara dalam membaca data sosial untuk mendeteksi potensi kekerasan sejak dini. Dengan akses ke catatan kriminal, pendidikan, hingga pengaduan masyarakat, negara dinilainya mampu melakukan deteksi dini dan pencegahan.
Merujuk pada UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, ia menyebut bahwa negara memiliki dasar hukum untuk mengambil alih pengasuhan anak dalam situasi darurat. Namun, pendekatan ini bukan dalam bentuk hukuman, melainkan bagian dari perlindungan dan pemulihan.
”Anak tetap harus mendapatkan haknya atas pendidikan, kesehatan, pembinaan karakter, dan kasih sayang, meskipun dalam bentuk pengasuhan alternatif yang terstruktur dan aman,” jelas Isa.
BACA JUGA:Lakukan Patroli Dunia Maya, Polrestabes Surabaya Berhasil Gagalkan Tawuran Antar Gangster
BACA JUGA:Tim Asuhan Rembulan Satpol PP Surabaya Cegah Tawuran Antargank
Untuk itu, ia mendorong hadirnya Rumah Pemulihan Anak (RPA) sebagai lembaga rehabilitasi sosial yang dirancang ramah anak. Di tempat itu, kata dia, anak-anak pelaku kekerasan akan menjalani proses pemulihan dalam lingkungan yang aman, terstruktur, namun tidak memutuskan hubungan mereka dengan kehidupan sosial.
"Model ini memungkinkan anak-anak yang tidak bisa lagi dibina dalam keluarga, menolak sekolah, atau melakukan kekerasan, untuk menjalani proses pemulihan di lingkungan yang aman, terstruktur, namun tetap ramah anak," paparnya.
Di RPA, para remaja akan mendapat pendampingan psikologis, pelatihan keterampilan vokasional, serta pendidikan karakter yang bertujuan membangun kembali nilai-nilai positif dalam diri mereka. Pendirian RPA sendiri, lanjut Isa, dapat dilakukan melalui kolaborasi lintas sektor, termasuk Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, kepolisian, hingga komunitas pemerhati anak.
”Penempatan anak bisa melalui rekomendasi psikolog, keputusan pengadilan, atau asesmen sosial dari pemerintah daerah,” imbuhnya.
Sebagai Kota Layak Anak (KLA), Surabaya dinilai memiliki infrastruktur sosial dan komitmen kebijakan yang cukup untuk merealisasikan proyek percontohan RPA. Fasilitas seperti sekolah alternatif, rumah singgah, dan layanan konseling sudah tersedia, sehingga bisa menjadi fondasi awal pembentukan RPA.
BACA JUGA:Ini Alasan Tawuran Antarremaja di Surabaya yang Selalu Terulang
BACA JUGA:Tawuran Dua Gank di Surabaya, Dua Remaja Terluka
"Piloting project ini diharapkan tidak hanya menangani anak-anak yang terkategori miskin ekstrem dan tidak memiliki akses pendidikan yang baik, tapi juga mampu menangani anak-anak dalam kondisi rawan kekerasan dan kerentanan sosial," ucapnya.
Isa menambahkan, program perlindungan anak yang selama ini berjalan di Surabaya masih cenderung ragu-ragu dalam mengambil langkah tegas karena khawatir dianggap sebagai kekerasan.
Padahal, dalam konteks tertentu, ketegasan justru merupakan bentuk perlindungan bagi anak maupun lingkungan sekitarnya. ”Sudah saatnya ketegasan perlu dilakukan bagi anak-anak yang perilakunya sudah membahayakan dirinya, orang lain, dan keluarganya,” katanya.