Kemandirian Bahan Baku Obat, Mimpi atau Realitas?

Minggu 18-05-2025,21:41 WIB
Oleh: Marcellino Rudyanto*

Menurut data dari Indian Drug Manufacturers’ Association (IDMA), mereka telah memproduksi lebih dari 500 jenis bahan aktif obat, sangat jauh di atas Indonesia yang baru memproduksi 8 jenis bahan aktif obat. 

Delapan bahan baku yang telah diproduksi di Indonesia, semuanya merupakan obat yang masa perlindungan patennya telah habis sehingga dapat diproduksi siapa saja sehingga harganya menjadi murah. 

Memproduksi obat murah untuk memenuhi kebutuhan rakyat banyak memang sangat penting. Namun, apakah itu cukup untuk membawa kita kepada kemandirian? 

BACA JUGA:BPOM Sita Obat Alami Ilegal di Jawa Barat Mencapai Rp 8,1 miliar

BACA JUGA:Mengatasi Leprosy dengan Pengobatan dan Edukasi Masyarakat

Industri-industri farmasi besar di negara maju memiliki obat-obat inventor yang dilindungi paten sehingga posisi tawar mereka cukup kuat di antara negara-negara lain yang juga memiliki obat-obat inventor. 

Apakah kita dapat menghasilkan obat inventor? Secara teoretis, dapat. Sebagian besar obat yang digunakan di klinik berasal dari pengembangan bahan alam. Indonesia sebagai negara dengan biodiversitas kedua setelah Brasil memiliki potensi yang sangat besar untuk penemuan senyawa baru berkhasiat obat. 

Ahli kimia bahan alam sudah cukup banyak ada di tanah air, senyawa baru yang ditemukan juga cukup banyak. Masalahnya, belum ada upaya yang cukup intensif dan masif untuk mengembangkan senyawa-senyawa bahan alam tersebut menjadi obat baru.

Pada umumnya, senyawa bahan alam berkhasiat tersedia di alam dalam jumlah sangat kecil sehingga kuantitas hasil isolasi tidak mencukupi untuk pengujian aktivitas biologis, apalagi untuk produksi massal. 

Sebagai contoh klasik, satu pohon Pacific yew berumur 100 tahun hanya menghasilkan paclitaxel yang cukup untuk satu kali injeksi pada satu pasien kanker. Mengandalkan produksi dengan bahan alam tidaklah ekonomis dan akan menimbulkan kerusakan lingkungan. 

Satu-satunya solusi untuk masalah tersebut adalah memproduksi senyawa-senyawa bahan alam secara sintetis, memanfaatkan ilmu kimia organik sintesis.

Bidang ilmu kimia organik sintesis belum berkembang di Indonesia. Beberapa orang, pada umumnya dosen, telah mempelajari bidang ilmu itu di luar negeri, tetapi pada akhirnya menemui banyak hambatan untuk mengembangkan di tanah air. 

Hambatan terbesar pereaksi kimia yang sebagian besar harus diimpor dari luar negeri dan prosesnya memakan waktu. Akibatnya, banyak ahli sintesis yang beralih ke cabang ilmu lain alih-alih mengembangkan sintesis. 

Keadaan itu bagaikan lingkaran setan: peneliti tidak melakukan sintesis total karena pereaksi tidak tersedia, industri tidak menyediakan pereaksi karena tidak ada cukup banyak pembeli. Untuk memutus lingkaran setan tersebut, diperlukan campur tangan pemerintah untuk mendorong kemajuan industri kimia dasar. 

Selain itu, untuk mengembangkan bidang sintesis, juga diperlukan peran lembaga pendidikan. 

Perlu dikembangkan program studi dengan kurikulum yang sesuai dan sarana laboratorium yang memadai untuk mendidik mahasiswa menjadi sumber daya yang mampu melaksanakan sintesis total bahan alam dan mengembangkannya menjadi bahan baku obat asli Indonesia, baik di tingkat riset maupun produksi. 

Kategori :

Terkait