Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Bermusyawarah di Era Digital

Rabu 21-05-2025,06:33 WIB
Oleh: Suko Widodo*

SETIAP 20 Mei, kita mengenang bahwa kemerdekaan Indonesia tidak lahir dari senjata, tetapi dari kegelisahan intelektual dan percakapan antargenerasi muda. Lahirnya organisasi Boedi Oetomo pada 1908 menjadi simbol awal kesadaran nasional –lahir dari ruang diskusi yang sederhana, tetapi kaya gagasan.

Kebangkitan Nasional, karena itu, bukan sekadar tonggak sejarah. Ia adalah penanda bahwa perubahan sosial dimulai dari ruang komunikasi publik yang sehat. Ruang-ruang seperti itulah yang menghubungkan gagasan dengan tindakan; ruang di mana keberanian untuk berbicara bertemu dengan kerendahan hati untuk mendengar.

Namun, hari ini kita menghadapi realitas yang berbeda. Dunia digital membuka saluran komunikasi tak terbatas. Siapa pun bisa bicara. Setiap orang bisa menulis, mengirim, dan menyebar. Tapi, ironisnya, di tengah kemudahan itu, kita makin kesulitan untuk menemukan ruang publik yang benar-benar deliberatif –yang mendalam, terbuka, dan rasional.

BACA JUGA:Tema, Logo, dan Sejarah Hari Kebangkitan Nasional 2025 yang Berkaitan dengan Budi Utomo

BACA JUGA:Mengenal Sejarah dan Makna Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei

RUANG KOMUNIKASI BERMEDIA BARU

Sosiolog Jurgen Habermas, dalam karyanya, The Structural Transformation of the Public Sphere (1984), menegaskan bahwa demokrasi yang sehat hanya dapat berkembang bila masyarakat memiliki ruang publik (public sphere) yang memungkinkan pertukaran gagasan secara terbuka dan rasional. 

Dalam ruang itu, semua warga memiliki akses yang setara, komunikasi berlangsung jujur, argumen diuji secara kritis, dan informasi tersedia secara terbuka. Keempat prasyarat itu menjadi fondasi deliberasi yang bermakna –bukan sekadar basa-basi politik atau seremoni partisipasi semu.

Namun, idealisme itu kini menghadapi ujian serius di era media baru. Perkembangan teknologi digital memang membawa euforia kebebasan berekspresi. 

Media sosial, blog, kanal video, hingga forum daring memberikan panggung bagi siapa saja untuk bersuara. Akan tetapi, kebebasan itu tidak selalu berbanding lurus dengan kedalaman atau kualitas komunikasi publik.

Dalam praktiknya, ruang publik digital kerap mengalami distorsi. Alih-alih menjadi arena dialog, media sosial justru lebih sering menjelma menjadi medan perang opini: cepat, singkat, emosional. 

Banyak orang lebih sibuk berbicara daripada mendengarkan. Lebih giat membagikan pesan daripada menyerap makna. Budaya membaca melemah, budaya menyela menguat. 

Akibatnya, ruang digital yang potensial menjadi forum deliberatif malah tergelincir menjadi panggung monolog massal –tempat semua orang ingin bicara, tapi enggan untuk mendengar.

Kondisi itu menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami pergeseran budaya komunikasi: dari budaya bermusyawarah menuju budaya berteriak. Padahal, dalam konstruksi sosial kita, musyawarah adalah nilai dasar kehidupan berbangsa. 

Sejak dulu kita mengenal rembuk desa, rapat kampung, musyawarah mufakat, dan forum warga sebagai praktik komunikasi horizontal yang menyatukan, bukan memisahkan. Di sana ego personal diredam demi kepentingan bersama. Perbedaan bukan dijadikan senjata, melainkan jalan menuju mufakat.

Kategori :