Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Bermusyawarah di Era Digital

Rabu 21-05-2025,06:33 WIB
Oleh: Suko Widodo*

Demokrasi bukan hanya soal bicara. Ia juga tentang bagaimana kita mendengar dengan empati, membaca dengan kritis, dan merespons dengan tanggung jawab. Namun, hari ini demokrasi kita sering terjebak dalam paradoks: kebebasan yang luas, tetapi miskin kedalaman; partisipasi yang tinggi, tetapi dangkal secara substansi. 

Kita menghadapi risiko demokrasi yang menyakiti: menyakiti karena penuh caci, menyakiti karena kehilangan etika, dan menyakiti karena miskin musyawarah.

Hari ini teknologi digital menawarkan ruang publik baru, seperti media sosial, forum daring, kanal video, hingga aplikasi e-musrenbang. Semua membuka peluang partisipasi, mempercepat penyampaian aspirasi, dan memperluas akses warga ke proses pengambilan keputusan. 

Namun, teknologi hanya alat. Tanpa nilai etis dan budaya dialog, ruang digital justru mudah berubah menjadi medan adu opini yang dangkal dan saling menyakiti.

Digitalisasi seharusnya bukan penghalang, melainkan penghubung. Jika dimanfaatkan dengan nilai-nilai deliberatif, teknologi bisa memperluas musyawarah: dari forum kampung ke ruang virtual, dari papan pengumuman ke dashboard partisipatif, dari suara-suara marginal ke panggung kebijakan.

Maka, tugas kita hari ini adalah menanam ulang budaya percakapan yang sehat, baik di dunia nyata maupun digital. Demokrasi bukan hanya soal siapa yang paling lantang, melainkan juga siapa yang paling mau mendengar.

Kita ini orang Indonesia. Kita terbiasa mencari mufakat, bukan memburu kemenangan. Jika hari ini kita merasa kehilangan arah, mungkin bukan karena teknologi terlalu cepat, tapi karena kita lupa bagaimana bermusyawarah dengan hati terbuka.

Kebangkitan nasional akan bermakna jika kita berani memulai kembali: membangun ruang komunikasi publik yang jernih, menyuburkan empati digital, dan meletakkan kembali akal sehat sebagai fondasi perdebatan. 

Dari sanalah demokrasi kita tumbuh. Bukan dengan gaduh, melainkan dengan gotong royong pikiran. (*)


*) Suko Widodo adalah dosen Departemen Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga

 

Kategori :