Badai PHK di Jatim, 8.000 Pekerja Kehilangan Pekerjaan Tahun Ini

Selasa 27-05-2025,18:59 WIB
Reporter : Ghinan Salman
Editor : Noor Arief Prasetyo

”Ini kasus PHK yang kemungkinan akan bertambah kelihatannya di Industri Kertas. Pabrik Pakerin, itu satu contoh ya, sudah ada 2.000 karyawan. Artinya nanti kita bisa menembus lebih dari 10.000,” urainya.

Dia menyebut, sejumlah sektor banyak melakukan PHK karena adanya kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Misalnya, para pekerja di bidang ekspor perikanan, juga mulai banyak yang dirumahkan.

”Di Banyuwangi dan Pasuruan. Kan banyak itu. Di situ ada udang, ikan tuna, semuanya itu kan banyak yang diekspor ke Amerika dan negara lain. Jadi ini sangat berdampak karena ada kebijakan Trump tadi. Termasuk tekstil, industri kayu, meubel juga terdampak,” tandasnya.

Dengan kondisi itu, dia berharap pemerintah segera merampungkan negosiasi dengan Donald Trump. Dengan begitu, dampak terhadap para pekerja akan bisa lebih diantisipasi. 

BACA JUGA:10.669 Karyawan Terkena PHK Imbas Ditutupnya PT Sritex, Disperinaker Sukoharjo Siapkan 8.000 Lowongan Baru

BACA JUGA:Wamenaker Janji Carikan Pekerjaan Untuk Karyawan Sritex Yang Terkena PHK, Tidak Ada Batasan Umur

Di sisi lain, ia menyoroti adanya perusahaan yang memanfaatkan situasi kebijakan tarif impor Trump tersebut. Caranya adalah dengan pura-pura pailit. Sebab, banyak anggota FSPMI yang bekerja, perusahaannya bangkrut secara tiba-tiba. Dan hal itu terjadi cukup banyak. Karena itu, ia berharap pemerintah mampu menangani permasalahan tersebut.

”Nah, apakah ini pura-pura pailit atau sudah mempailitkan diri. Itu kan tipis sih ya. Ya mirip lah dengan Sritex itu, antara utang sama asetnya itu tidak sebanding. Akhirnya para pekerja jadi korban PHK,” katanya.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair) Prof Rahma Gafmi mengatakan, saat ini sedang terjadi fenomena deindustrialisasi. Itu terjadi secara global seiring perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), robot, dan perangkat lunak. 

Hal itu menyebabkan menurunnya peran sektor manufaktur dalam perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Menurutnya, era industrialisasi berorientasi ekspor sudah berlalu. Tinggal kenangan. Kini, model pertumbuhan ekonomi baru lebih berfokus pada konsumsi domestik atau Internal Growth Model, seperti yang diterapkan India.

”Kita saat ini sudah mengalami deindustrialisasi. Sektor manufaktur semakin redup karena hadirnya AI, robot, dan otomatisasi. Tenaga kerja manusia makin sedikit dibutuhkan di bidang produksi,” ujar Prof Rahma.

BACA JUGA:Okupansi Hotel di Jatim Kena Imbas Efisiensi Anggaran: Revenue Anjlok 50 Persen, PHK Mengintai

BACA JUGA:Dinsos Jatim Pastikan Tak Ada PHK untuk Pegawai Honorer

Menurutnya, justru ekspor jasa atau services yang kini menjadi tulang punggung utama perekonomian global. Contohnya adalah layanan help desk atau dukungan pelanggan yang banyak dilakukan dari negara seperti India dan Filipina untuk pasar Amerika Serikat.

”Model pembangunan yang akan datang tidak lagi berorientasi ekspor barang, tapi memproduksi barang dan jasa untuk dikonsumsi sendiri. Ini yang disebut domestic demand driven growth model,” katanya.

Prof Rahma menambahkan, jika ingin menciptakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan berkelanjutan, seluruh sektor ekonomi harus digerakkan bersamaan. Tidak hanya bergantung pada satu sektor tertentu seperti manufaktur.

Kategori :