Destinasi Wisata Premium tanpa Tambang di Raja Ampat

Senin 09-06-2025,15:13 WIB
Oleh: Noor Arief Prasetyo

Sejak lama Raja Ampat dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia.  Penelitian tim ahli dari Conservation International, The Nature Conservancy, dan Lembaga Oseanografi Nasional (LON) LIPI pada tahun 2001 dan 2002 menyebutkan sebanyak 75% karang dunia ada di perairan Raja Ampat. Terdapat lebih dari 540 jenis karang keras, lebih dari 1.000 jenis ikan karang, 700 jenis moluska, dan beragam gonodactyloid stomatopod crustaceans.

Di sisi lain, status Raja Ampat sebagai global geopark UNESCO semakin terancam jika kerusakan lingkungan terus berlanjut. Pada 24 Mei 2023, UNESCO menetapkan kawasan ini sebagai geopark karena nilai ekologis dan geologisnya yang luar biasa. 

Kerusakan ekosistem akibat tambang nikel tidak hanya mengancam flora dan fauna endemic. Tetapi juga menurunkan daya tarik wisata alam yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat setempat. Pemerintah perlu mendengar suara penolakan dari masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan pelaku wisata jauh lebih besar, menuntut penghentian total aktivitas tambang demi keberlanjutan kawasan.

Memang, Kementerian ESDM telah menghentikan sementara aktivitas PT Gag Nikel di Pulau Gag dan menurunkan tim inspeksi untuk mengevaluasi dampak lingkungan di seluruh wilayah izin tambang Raja Ampat. Namun, yang dibutuhkan saat ini ketegasan pemerintah untuk menutup aktivitas pertambangan secara permanen karena berbagai pelanggaran lingkungan telah diungkap oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan organisasi masyarakat sipil. 

BACA JUGA:Bahlil: Tambang PT Gag Nikel Berjarak 30-40 Km dari Kawasan Wisata Raja Ampat

BACA JUGA:Bahlil Hentikan Sementara Tambang Nikel di Raja Ampat, Selidiki Laporan Kerusakan Lingkungan

Destinasi Wisata Premium Tanpa Tambang

Kasus kerusakan di Pulau Gag, Kawe, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun menjadi bukti nyata bahwa aktivitas tambang di pulau-pulau kecil Raja Ampat membawa risiko kerusakan yang tidak sebanding dengan manfaat ekonomi jangka pendek. Banyak pihak mewanti-wanti fenomena “kutukan sumber daya alam” yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. 

Berkaca dari riset Hania Rahma dkk. berjudul “Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia” (Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 21 No. 2, Juli 2021) fenomena “kutukan sumber daya alam” (natural resource curse) memang terjadi di tingkat provinsi di Indonesia, terutama pada wilayah yang kaya hasil tambang. Berkaca pada Regional Resource Curse Index (RRCI) yang menggabungkan indeks ketergantungan sumber daya alam dan indeks pembangunan daerah berkelanjutan, para penulis menemukan bahwa provinsi-provinsi dengan kekayaan sumber daya alam ekstraktif tidak otomatis berbanding lurus dengan kesejahteraan atau pembangunan berkelanjutan di daerah. Sebaliknya, ketergantungan berlebihan pada sektor ekstraktif justru dapat menghambat kemajuan sosial-ekonomi dan memperlebar kesenjangan. 

Menggunakan data 2019, penelitian Hania dkk. menyebut Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh merupakan lima provinsi paling rentan menghadapi fenomena resource curse. Fenomena ini membuat provinsi-provinsi tersebut sulit menciptakan pembangunan berkelanjutan dari kekayaan sumber daya tambangnya. Semakin jelas, tambang di Raja Ampat bukan solusi pengembangan ekonomi di wilayah ini.

BACA JUGA:BRIN Usulkan Raja Ampat Menjadi Cagar Biosfer di Bawah MAB UNESCO

Lebih baik kita berfokus pada pengembangan Raja Ampat menjadi destinasi wisata premium andalan Indonesia. Penutupan tambang dan penguatan pariwisata berbasis konservasi adalah solusi berkelanjutan untuk menjaga kelestarian ekosistem, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, dan mempertahankan status Raja Ampat sebagai ikon wisata dunia yang ramah lingkungan. Toh melalui pariwisata, kita tinggal memelihara kondisi alam yang sudah ada, uang pun bisa deras mengalir. Jangan lagi kita dustakan nikmat Raja Ampat! (*)

 

Kategori :