HARIAN DISWAY – Satu nama dua dunia: game dan film. Jika keduanya digabungkan, hasilnya adalah Metal Gear Solid atau Death Stranding. Karya-karya itu tercetus dari Hideo Kojima, pria Jepang yang eksentrik.
Nama Kojima bukan hanya harum di kalangan gamer hardcore. Personanya sudah tersohor di industri game. Terutama karena pendekatannya yang lebih mirip sutradara film ketimbang pembuat game biasa.
Narasi kompleks, karakter filosofis, dan kritik sosial yang dibungkus dengan teknologi canggih. Semua itu adalah cap jari Kojima dalam setiap karyanya.
BACA JUGA:Mengapa Hiatus Sering Terjadi di Dunia Manga dan Anime?
Hideo Kojima lahir di Tokyo pada 24 Agustus 1963. Saat kecil, setiap malam ia menonton film. Bukan cuma Rambo atau Star Wars. Tapi juga film Eropa, film horor Italia, dan film eksperimental Jepang.
Metal Gear Solid 4 melanjutkan kisah dari Snake. --Trend Radars
Ia tumbuh dengan rasa ingin tahu yang besar terhadap dunia. Namun, cita-citanya untuk menjadi sutradara film dianggap tak realistis.
Dunia perfilman Jepang saat itu terlalu sempit untuk orang seambisius dia. Maka, ia masuk ke dunia game. Sebuah keputusan yang mengubah segalanya.
BACA JUGA:Marvel Tokon: Fighting Soul, Kombinasi Epik Superhero Rasa Anime
Tahun 1986, Kojima bergabung dengan Konami. Di sanalah ia mulai merancang game pertamanya: Metal Gear.
Di tengah tren game yang fokus pada tembak-menembak dan aksi cepat, Metal Gear justru memaksa pemain untuk bersembunyi.
Sebuah game stealth pertama di masanya. Tidak hanya inovatif secara gameplay, Kojima juga menyisipkan cerita yang kompleks tentang perang, teknologi, dan identitas.
BACA JUGA:Kilas Balik Metal Gear Solid 3, Konami Ungkap Trailer Remake di Tokyo Game Show
Puncaknya adalah Metal Gear Solid (1998) di PlayStation. Game itu bukan cuma sukses besar secara komersial. Tapi juga membuka jalan bagi game lain untuk memperlakukan narasi seperti film.
Dengan kamera sinematik, dialog mendalam, dan karakter penuh konflik batin, Kojima membawa standar baru dalam storytelling di industri game. Tapi seiring waktu, ambisinya mulai bertabrakan dengan sistem perusahaan.
Hubungan Kojima dengan Konami memburuk. Proyek besar terakhirnya, Metal Gear Solid V: The Phantom Pain, dirilis tanpa akhir yang lengkap.
BACA JUGA:Dereten Karakter Sampingan Anime yang Mencuri Spotlight
Tak lama setelah itu, ia hengkang. Dunia game gempar. Para penggemar marah. Tapi Kojima justru tertawa pelan. Ia merasa bebas.
Tahun 2015, ia mendirikan Kojima Productions. Dengan dukungan Sony, ia menciptakan Death Stranding (2019), sebuah game aneh tentang terhubungnya dunia yang terpecah akibat bencana. Bukan tentang senjata. Tapi tentang kabel. Tali. Hubungan antarmanusia.
Beberapa menyebut game itu “sangat Kojima”. Kompleks, eksperimental, bahkan membingungkan. Tapi juga menyentuh, mendalam, dan menggugah. Sebuah refleksi dari dunia nyata yang sedang terpecah oleh pandemi dan kebencian digital.
BACA JUGA:5 Seri Anime Terbaru yang Siap Menggebrak Juli 2025
Death Stranding 2: On The Beach kembali menyusuri perjalanan Sam dan BB di dunia Post Apochalypse. --wcctech
Kojima bukan pembuat game biasa. Ia seperti seniman avant-garde yang nekat main di industri miliaran dolar.
Ia membaca buku sastra, menonton film indie, mengikuti politik global, dan memasukkannya ke dalam game.
Kini, Kojima tengah menggarap Death Stranding 2 dan proyek rahasia bersama Microsoft. Usianya sudah 60 lebih.
BACA JUGA:Mengenal Guts Dari Anime Berserk, Sosok Tangguh yang Berjuang di Tengah Suramnya Dunia
Tapi pikirannya masih seperti anak umur 20: liar, bebas, dan penasaran. Ia tidak takut gagal. Tidak takut dibilang aneh. Karena bagi Kojima, game bukan produk. Tapi bahasa. Bahasa untuk menyentuh manusia.
Dan sejauh ini, ia telah menyentuh jutaan orang. Tidak lewat pelukan, tapi lewat controller. Lewat game yang tak sekadar hiburan, tapi juga perenungan. (*)