HARIAN DISWAY - Gagal, gagal lagi, gagal terus. Itu tak masalah. Bagi sebagian orang kegagalan bisa jadi akhir segalanya. Tapi bagi saya kegagalan seolah menjadi teman dan pelecut terbaik untuk melanjutkan pendidikan di Finlandia dalam PhD Programme Hanken School of Economics, Helsinki.
”Thank you for your application”. Terima kasih untuk aplikasi Anda. Sebuah email saya terima empat tahun silam di pertengahan tahun 2020 selepas menyelesaikan studi S2 bidang Logistics and Supply Chain Management di Lund University, Swedia.
Waktu itu, saya menyelesaikan studi S2 di tengah kondisi yang sangat tidak ideal: COVID-19. Sudah jauh-jauh kuliah di Swedia, nyatanya saya menjalani thesis defense secara online dari Indonesia karena terjebak tidak bisa kembali ke Swedia karena penerbangan saya kembali ke Swedia pada waktu itu ditiadakan. Impian punya foto wisuda di depan Universitetshuset, gedung utama Lund University, tinggal angan belaka.
Di depan Lund University Library, Swedia, Mushonnifun Faiz Sugihartanto (depan tengah batik kuning) bersama teman-teman PPI Scania pada 2018.--Mushonnifun Faiz S
BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (5): Penonton Kehidupan di Atas Pedal
Kembali ke email tadi, yang merupakan aplikasi saya pertama untuk mendaftar S3 yang berbasis vacancy di universitas di Swedia, ternyata ditolak. Sedihnya, ternyata email berawal ”thank you” tersebut ternyata menjadi pembuka ”thank you-thank you” yang lain selama empat tahun terakhir, yaitu dari 2020-2024.
Sebenarnya, saya sudah biasa dengan kegagalan ini, karena ketika pada 2016-2017, saya gagal 12 macam beasiswa saat mendaftar beasiswa S2, sebelum akhirnya mendapatkan LPDP untuk berangkat ke Swedia pada 2018. Jadi ketika menerima ”thank tou” yang tidak diharapkan tadi, saya tinggal move on saja ke aplikasi yang lain lagi sambil secara aktif mencari peluang S3 yang berbasis proyek dari supervisor.
Saya masih ingat Juni 2020 selepas mendapat e-mail pertama kegagalan S3, sekaligus lulus dari sidang S2 online, di awal pandemi yang mencari pekerjaan bisa dibilang susah, saya justru memberanikan diri melamar pujaan hati saya. Saya bertandang ke rumahnya menemui ayah dan ibunya.
BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (6): Bertualang Menjelajah Paris di Bawah Tanah
Alhamdulillah, setidaknya itu tidak berakhir dengan ucapan ”thank you” seperti yang saya terima di email sebelumnya. Gagal melamar S3, ”es-tiga”, bolehlah asal tidak gagal melamar ”es-three” alias istri, hehehe.
Menjelang menikah pada Desember 2020, saya belum juga memiliki pekerjaan tetap. Sempat sih menjadi tutor untuk kelas IELTS Online selama beberapa bulan. Akhirnya rezeki saya berlabuh sebagai dosen di Departemen Manajemen Bisnis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS Surabaya). Dimulai tepat pada 1 November 2020 atau sebulan sebelum saya menikah.
Dengan memiliki homebase di perguruan tinggi Indonesia, serta adanya dukungan dari dosen senior dan rekan sejawat di kampus, saya sempat berpikir pencarian S3 saya pasti akan jauh lebih less drama dari S2 dulu. Apalagi portofolio pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat di kampus sudah pasti akan menjadi nilai plus dari CV saya.
Bersama mahasiswa di salah satu kelas yang diampu di Departemen Manajemen Bisnis ITS Surabaya. Tampak Mushonnifun Faiz Sugihartanto (depan baju kotak-kotak).--Mushonnifun Faiz S
BACA JUGA:Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (1): Gurihnya Merintis Jualan Tempe di Inggris
Itulah yang mendorong saya untuk memberanikan diri melamar beasiswa LPDP Reguler untuk S3 pada 2021. Terlebih pada waktu itu atasan saya di departemen memberikan lampu hijau dan surat rekomendasinya.