Tagar KaburAjaDulu: Strategi Resistensi Terhadap Kekuasaan dalam Perspektif Michel Foucault

Jumat 27-06-2025,11:00 WIB
Reporter : Cintya Ratnaduhita*
Editor : Heti Palestina Yunani

Di era digital yang sarat tekanan dan keterpaksaan untuk selalu terlihat produktif, hadir satu frasa populer yang viral di media sosial yaitu #KaburAjaDulu. Frasa ini, meskipun terdengar ringan dan jenaka, sesungguhnya mengandung dimensi sosial-filosofis yang menarik untuk dibedah lebih dalam, terutama melalui pemikiran filsuf pascamodern asal Prancis, Michel Foucault.

Melalui kacamata Foucault, tagar ini tidak hanya menjadi ekspresi eskapisme semata, tetapi juga bentuk resistensi terhadap sistem kekuasaan yang mengatur dan mendisiplinkan tubuh serta pikiran manusia modern.

Apa Itu #KaburAjaDulu?

#KaburAjaDulu adalah frasa yang biasa digunakan oleh generasi muda saat menghadapi tekanan hidup yang berlebihan: stres kerja, overthinking, burnout akademik, konflik sosial, atau ekspektasi keluarga dan masyarakat. “Kabur” dalam hal ini bisa berarti mengambil cuti tanpa izin, healing ke gunung, tidak membuka media sosial, atau bahkan menunda studi dan karier.

BACA JUGA:Brand Baru Surabaya: Apa Selanjutnya?

Namun, alih-alih hanya dipahami sebagai bentuk pelarian pribadi, dalam bingkai pemikiran Foucault, “kabur” bisa dimaknai sebagai tindakan politis mikro terhadap kekuasaan yang tersembunyi namun merasuk ke dalam berbagai institusi dan praktik kehidupan

Kekuasaan dalam Pandangan Foucault

Michel Foucault menolak pandangan tradisional yang melihat kekuasaan hanya berasal dari negara, penguasa, atau aparat represif. Bagi Foucault, kekuasaan bukanlah entitas tunggal yang menindas dari atas, melainkan sesuatu yang tersebar dan terinternalisasi dalam diskursus, lembaga, praktik sehari-hari, bahkan dalam diri kita sendiri.

Kekuasaan, menurutnya, bekerja secara disipliner melalui institusi seperti sekolah, rumah sakit, kantor, keluarga, dan media sosial. Kekuasaan tersebut menghasilkan subjek yang taat, produktif, dan terkontrol melalui mekanisme pengawasan, norma, dan standar. Dalam konteks ini, individu tidak sadar bahwa dirinya sedang “dibentuk” oleh kekuasaan menjadi sosok ideal yang diinginkan sistem.

BACA JUGA:Partisipasi Perempuan untuk Emansipasi

Tagar sebagai Tindakan Diskursif

Dalam kerangka analisis Foucault, setiap bahasa atau wacana (diskursus) memiliki kekuatan untuk membentuk realitas. Tagar seperti #KaburAjaDulu bukan hanya ungkapan bebas nilai, tapi merupakan bagian dari produksi pengetahuan dan kekuasaan. Tagar ini merepresentasikan penolakan terhadap wacana dominan yang melegitimasi budaya kerja berlebihan (hustle culture), keharusan untuk sukses muda, dan gaya hidup yang dipenuhi pencitraan sosial.

Ia menjadi semacam “anti-wacana” yang menyuarakan kebebasan untuk tidak produktif, tidak patuh, dan tidak sempurna. Dengan demikian, penggunaan tagar ini dapat dibaca sebagai bentuk subversi diskursif: suatu cara diam-diam untuk melawan sistem melalui bahasa, humor, dan kejenakaan.

Disiplin Tubuh dan Psikologi Produktivitas

Dalam bukunya Discipline and Punish (1975), Foucault menjelaskan bagaimana masyarakat modern bergerak dari sistem hukuman yang bersifat brutal menjadi sistem pengawasan yang halus namun efektif. Ia menyebut konsep ini sebagai “panoptikon”, metafora dari penjara yang memungkinkan satu penjaga mengawasi banyak narapidana tanpa terlihat.

BACA JUGA:Pertamax Oplosan: Apakah Janji Premium Hanya Tipuan?

Kini, panoptikon itu hadir dalam bentuk jam kerja, target KPI, kehadiran di media sosial, hingga algoritma digital yang merekam setiap aktivitas kita. Kita menjadi subjek yang mengawasi dan menghukum diri sendiri demi menjadi “ideal”: rajin, disiplin, produktif, dan bahagia.

#KaburAjaDulu adalah bentuk perlawanan terhadap mekanisme ini. Ia menolak dikendalikan oleh standar-standar disipliner. Ketika seseorang memilih untuk “kabur” dari pekerjaan, akademik, atau ekspektasi sosial, ia sedang mencabut dirinya dari ruang panoptik dan menjadi subjek bebas yang mengatur ulang relasi dengan kekuasaan.

#KaburAjaDulu sebagai Praktik Resistensi

Foucault percaya bahwa di mana ada kekuasaan, di situ selalu ada resistensi. Namun resistensi dalam pemikiran Foucault tidak selalu dalam bentuk revolusi besar atau demonstrasi, melainkan bisa hadir dalam tindakan-tindakan kecil, tersembunyi, dan bersifat mikro, seperti mematikan notifikasi kerja, tidak menjawab pesan bos di akhir pekan, atau mengambil jeda untuk menyendiri. 

BACA JUGA: Budaya Asal Terima: Pembangunan Top-Down yang Melemahkan Kesadaran Kritis

Kategori :