Soft Activism, Cara Gen Z Menyuarakan Isu Sosial Lewat Gaya Hidup

Sabtu 05-07-2025,13:00 WIB
Reporter : Pingki Maharani*
Editor : Guruh Dimas Nugraha

Gaya hidup bukan lagi sekadar persoalan selera pribadi. Melainkan bentuk sikap. Ketika Gen Z memilih untuk membawa tumbler ke kampus, membeli sabun tanpa kemasan plastik, atau mengunggah kampanye pro-demokrasi melalui Instagram Story, mereka sedang mempraktikkan bentuk perlawanan yang lembut namun konsisten.

BACA JUGA:4 Cara Menyembuhkan Attachment Injury: Penyakit yang Diderita Harry Vaughan dalam Asmara Gen Z

Menurut laporan Deloitte Global Millennial and Gen Z Survey 2024, 62 persen responden Gen Z di Asia Tenggara menyatakan bahwa mereka merasa tanggung jawab pribadi untuk ikut menyelesaikan persoalan sosial dan lingkungan.

Mereka cenderung menghindari produk yang bertentangan dengan nilai etika mereka, dan 43 persen di antaranya memilih brand yang aktif menyuarakan isu sosial tertentu.


Media sosial menjadi medium utama dalam menyebarkan soft activism. --Pinterest

Media sosial menjadi medium utama dalam menyebarkan soft activism. Tagar seperti #BlackLivesMatter, #FreePalestine, atau #MeToo menjadi simbol kolektif dari kepedulian global, meski hanya berupa unggahan ulang, ilustrasi digital, atau kutipan singkat.

BACA JUGA:Gustiwiw: Talenta Gen Z yang Berpulang Mendadak, Tetapi Warisannya Tetap Hidup

Kritik terhadap clicktivism, aktivisme yang dinilai terlalu mudah dan minim dampak, memang muncul. Namun, seperti yang disampaikan oleh Neta Kligler-Vilenchik dalam jurnal New Media & Society (2021), bentuk partisipasi digital itu tetap penting karena membangun kesadaran, menyatukan opini, dan menghubungkan komunitas lintas batas.

Di Indonesia sendiri, contoh soft activism terlihat dari gerakan kreatif anak muda. Seperti Kolektif Aksara, Pamflet Generasi, dan Puan Bermedia yang menggunakan media visual, workshop daring, hingga pameran seni sebagai sarana kampanye hak asasi dan inklusivitas.

Bagi Gen Z, aktivisme tak harus bising, tapi harus bermakna. Dalam keseharian yang penuh pilihan, mereka menunjukkan bahwa membeli kaos dari UMKM lokal, menggunakan produk ramah lingkungan, atau menyebar informasi lewat carousel Instagram adalah bentuk politik personal yang tetap bernyawa.

BACA JUGA:⁠Tren No Spend Weekend, Hidup Hemat Ala Gen Z

Soft activism membuktikan bahwa perubahan sosial bisa dimulai dari diri sendiri. Bukan dari seruan keras, tapi dari konsistensi dan kesadaran yang terus dihidupi. (*)

*) Mahasiswa magang dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka Surabaya.

Kategori :