Saya sering membayangkan seperti ini. Bagaimana ya perasaan Pak Dahlan (Dahlan Iskan) setiap pagi, habis salat Subuh, keluar rumah untuk senam dan joging, menatap sebuah gedung megah 21 lantai tak jauh dari rumahnya, yang dulu ia membangunnya, dan menjadi kebanggaan serta legasinya. Kini semua tinggal cerita. Jangankan berkantor di gedung itu lagi, sekadar masuk ke halamannya saja wagu (ragu-ragu) dan sungkan.
BERITA tentang Dahlan Iskan kembali viral. Tidak terkait isu politik. Sepertinya tidak ada hubungan dengan politik. Meskipun penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka terjadi dua pekan setelah dua orang kepercayaan Presiden Prabowo Subianto, Sufmi Dasco dan Raffi Ahmad, menemuinya di kantor Harian Disway di Jakarta.
Ya, Selasa, 8 Juli 2025, berbagai media ramai memberitakan Dahlan Iskan ditetapkan sbagai tersangka oleh Polda Jatim. Penetapan itu atas laporan seorang wakil direktur Jawa Pos. Pasal yang disangkakan cukup berat: tindak pidana pemalsuan dokumen, penggelapan, hingga pencucian uang.
BACA JUGA:Jawa Pos Adalah Monster
BACA JUGA:Suatu Hari… di Jawa Pos
Publik bingung. Dahlan Iskan menggugat Jawa Pos, Jawa Pos menggugat Dahlan Iskan. Dahlan Iskan menjadi tersangka atas laporan dari manajemen Jawa Pos. Yang publik tahu, Dahlan Iskan adalah Jawa Pos dan Jawa Pos adalah Dahlan Iskan. Lha, kok sekarang gugat-menggugat. Ada apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos?
Tulisan ini adalah sudut pandang pribadi penulis sebagai orang yang pernah 12 tahun (1997–2009) menjadi wartawan di Jawa Pos dan sering menerima penugasan langsung dari Dahlan Iskan, pemimpin umum dan CEO Jawa Pos pada periode tersebut. Tulisan ini mungkin subjektif dan tidak sepenuhnya akurat.
Jawa Pos, koran beroplah satu becak dan menjadi bacaan favorit komunitas Tionghoa di Surabaya itu, dibeli PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) tahun 1982. Eric Samola (dirut PT Grafiti Pers) menunjuk Dahlan Iskan (wartawan Tempo di Surabaya) sebagai pemimpin redaksi Jawa Pos.
BACA JUGA:Kuasa Hukum Bantah Dahlan Iskan Ditetapkan Tersangka oleh Polda Jatim
BACA JUGA:Dari Taichi Hingga Senam Dahlan: Panggung Penuh Makna Ulang Tahun Harian Disway
Tidak hanya mengelola redaksinya, tetapi juga aspek lain dari koran pagi tersebut: iklan dan pemasaran. Pilihan Eric Samola tepat. Dalam waktu singkat, tak lebih satu dekade, Jawa Pos tumbuh besar dan mulai mengalahkan media cetak terbesar di Jawa Timur saat itu, koran sore Surabaya Post.
Penulis ”akrab” dengan Jawa Pos sejak duduk di semester kedua di bangku kuliah (1993). Mulai menulis untuk rubrik Kolom Mahasiswa. Honornya Rp 50 ribu per tulisan, uang kos Rp 25.000 per bulan dan harga makan minum Rp 750 per porsi (nasi pecel/lodeh, telur dadar, dan es teh manis).
Jika sebulan bisa dimuat dua tulisan, sudah lebih dari cukup untuk hidup ”mewah” ala mahasiswa di Kota Jember. Apalagi, ada tambahan uang beasiswa Supersemar dan hadiah-hadiah dari lomba karya tulis ilmiah dan honor tulisan dari media lainnya. Sudah hidup makmur kala itu.
BACA JUGA:Sufmi Dasco-Raffi Ahmad Bertemu Dahlan Iskan di Kantor Disway, Ini yang Dibicarakan
BACA JUGA:Pesan Dahlan Iskan untuk ICCWA di Perth: Jangan Balik ke Indonesia!