BACA JUGA:Paus Fransiskus Buka Suara di KTT G7: Gali Risiko dan Keuntungan Kecerdasan Buatan (AI)
Mengapa NTU mempermasalahkan kutipan palsu sedemikian rupa? Sebab, akurasi pengutipan adalah fondasi setiap karya ilmiah. Tanpa itu, argumen dan hasil penelitian kehilangan kredibilitas.
Kalau bicara soal kredibilitas, para profesional di bidang AI sebenarnya sudah melek mengenai hal tersebut.
CNN, 10 Juli 2025, mengutip pernyataan Greg Leppert, Direktur Eksekutif Inisiatif Data sekaligus Kepala Teknologi di Berkman Klein Center for Internet & Society Universitas Harvard. “Banyak data yang digunakan dalam pelatihan kecerdasan buatan (AI) tidak berasal dari sumber asli.”
Jalan keluar yang ditawarkan adalah menambah sumber pengetahuan tersebut. Yaitu buku-buku fisik dari perpustakaan.
Solusi itu memang oke. Namun dengan cara kerja AI, apakah hal ini benar-benar bisa menjadi solusi jangka panjang?
PENGGUNA AI bekerja pada laptopnya di kantor Synthesia, London, 2 Juli 2025.-JUSTIN TALLIS-AFP-
AI mirip dengan koki otodidak yang belajar memasak dengan membaca miliaran resep dan ulasan makanan. Ketika mendapat pesanan (prompt), dia langsung memindai “perpustakaan resep” raksasanya untuk mencari pola dan hubungan antar bahan dan langkah.
AI tidak berpikir kreatif. Ia hanya peranti memprediksi kata atau instruksi apa yang paling mungkin mengikuti kata sebelumnya. Seperti merangkai puzzle.
Hasilnya adalah hidangan (output) yang disajikan. Namun, kadang hidangan itu kurang enak atau salah karena buku resepnya tidak lengkap atau bias. AI tidak pernah belajar tentang semua jenis masakan. Ia tidak merasakan. Ia tidak mengerti “enak” secara personal. Ia mengarang. Terkadang, AI membuat bahan atau langkah yang tidak ada agar resepnya terlihat utuh.
Kasus seperti kutipan fiktif tersebut terjadi karena hal ini: AI bekerja dengan mengenali pola dan memprediksi. Tapi tidak memiliki pemahaman sejati seperti manusia.
Sebagai penanganan ancaman terhadap integritas akademik itu, Wakil Rektor Bidang Pendidikan NTU Tan Ooi Kiang mengatakan bahwa NTU membatasi penggunaan AI.
Mereka mengamati dan memilah AI terlebih dahulu sebelum memutuskan apakah model AI itu aman untuk digunakan di kelas.
“Misalnya, model bahasa A diketahui bisa menghasilkan hasil yang salah atau menyesatkan. Maka, universitas tidak menganjurkan penggunaan model bahasa itu untuk menilai pekerjaan mahasiswa secara otomatis,” jelas Tan seperti dikutip The Straits Times, 1 Mei 2024.
Bagaimanapun juga, tak dapat dimungkiri bahwa ada banyak tenaga pendidik dan institusi akademik yang justru mendorong siswanya untuk memanfaatkan potensi AI yang tersedia. Bagi pendukung AI, teknologi itu mampu menghadirkan efisiensi sekaligus membuka ruang eksplorasi baru.