Purna Migran, Remitansi, dan Tantangan Pemberdayaan: Catatan dari Watulimo, Trenggalek

Jumat 25-07-2025,11:16 WIB
Reporter : Biandro Wisnuyana*
Editor : Heti Palestina Yunani

Remitansi yang Belum Berdaya

Remitansi, yang seharusnya menjadi modal pembangunan keluarga dan komunitas, kerap kali tidak dikelola secara optimal. Meski sebagian purna migran telah menggunakan uang kiriman untuk membuka usaha seperti peternakan atau warung, nyatanya masih banyak yang kembali terjebak dalam kemiskinan absolut karena dana remitansi habis tanpa arah yang jelas. 

Seperti disampaikan oleh Bu Tina, “PMI menjadi ATM berjalan” istilah yang mencerminkan eksploitasi remitansi oleh keluarga yang tidak memiliki strategi pengelolaan. Tingginya keinginan kembali bekerja di luar negeri, meski sudah punya usaha di kampung, menunjukkan bahwa usaha lokal belum mampu mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga.

BACA JUGA: Resmi Dilantik, Trump Akan Usir Imigran Gelap dan Perangi Kartel

“Gaji bersih yang tinggi” dan “lapangan kerja yang tersedia setiap hari” di luar negeri menjadi alasan utama para purna migran kembali ke jalur migrasi, meskipun mereka sudah memiliki usaha atau tabungan.

Hal ini diperkuat oleh kesaksian Pak Thoyyibun (Sekretaris Desa Karanggandu) yang merupakan mantan pekerja migran. Ia menyebut bahwa bekerja di Malaysia lebih menjanjikan karena lapangan kerja selalu tersedia, tidak seperti di desa yang bersifat musiman. 

Dalam dua tahun setelah pulang, tabungan bisa habis karena tidak ada pendapatan tetap di Indonesia. Tujuan purna migran pun bukan untuk kaya raya, melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar seperti membangun rumah atau membeli genteng.

BACA JUGA: Bekali Peserta dengan Keterampilan dan Pengetahuan, BRI Peduli Berdayakan Eks Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Namun, ironisnya, kepemilikan rumah justru sering kali membuat mereka tidak lolos dalam survei bantuan sosial karena dianggap “mampu”.

Pentingnya Revitalisasi Komunitas dan Kebijakan Inklusif

Salah satu solusi yang mengemuka dalam diskusi adalah pentingnya menghidupkan kembali komunitas Bina Keluarga TKI di tingkat desa.

Komunitas ini dapat menjadi wadah untuk menangani isu-isu seperti ketahanan keluarga, pendidikan anak, hingga pemberdayaan ekonomi.

BACA JUGA: Wamen Transmigrasi Terima Kunjungan PATRI: Anak-Anak Transmigran Banyak Yang Berpendidikan Tinggi

Contohnya di Tulungagung, komunitas purna PMI mampu saling bergotong-royong dalam mengakses bantuan pemerintah tanpa mengambilnya sendiri, melainkan dibagikan kepada rekan sesama purna migran.


Tujuan purna migran pun bukan untuk kaya raya, melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar seperti membangun rumah atau membeli genteng. --Biandro Wisnuyana

Namun, seperti diungkapkan Pak Yani Prasongko (Kepala Desa Sawahan), upaya pendampingan selama ini masih minim dukungan dari pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pusat. Padahal, komunitas dan kegiatan sudah berjalan, tetapi tidak cukup kuat tanpa sinergi lintas sektor.

Kategori :