Adulting is Hard: Realita Usia 20-an yang Tidak Seindah Kata Motivator

Minggu 03-08-2025,12:00 WIB
Reporter : Alifia Adellia Putri*
Editor : Heti Palestina Yunani

HARIAN DISWAY - Usia 20-an sering digambarkan sebagai masa keemasan. Masa ketika seseorang penuh energi, bebas menentukan arah hidup, dan berkesempatan mencoba banyak hal.

Motivator dan konten inspiratif di media sosial juga kerap menggambarkannya sebagai waktu terbaik untuk "kejar mimpi", "keluar dari zona nyaman", atau "jadi versi terbaik diri sendiri". Tapi realitanya? Jauh lebih rumit dari sekadar kata-kata indah.

Banyak orang di usia 20-an justru merasa bingung, lelah, dan tertekan. Mereka menjalani hidup dengan pertanyaan yang terus mengganggu "Aku sebenarnya mau jadi apa?", "Kenapa orang lain sudah sejauh itu, tapi aku masih di sini-sini aja?", atau yang paling menyakitkan, "Apa aku gagal?".

BACA JUGA:5 Tanda Anda Lebih Dewasa dari yang Anda Kira

Quarter-Life Crisis: Datang Diam-Diam, Mengacaukan Banyak Hal


Quarter-Life Crisis: Datang Diam-Diam, Mengacaukan Banyak Hal.--unsplash.com.

Salah satu hal yang sering dialami oleh orang di usia 20-an adalah quarter-life crisis. Kondisi ini membuat seseorang merasa cemas tentang masa depan, kehilangan arah, atau mempertanyakan semua keputusan hidup yang pernah diambil.

Bukan karena mereka tidak berusaha, tapi karena realita hidup tidak selalu sejalan dengan rencana.

BACA JUGA:Fenomena Quarter-Life Crisis: Umur 25 tapi Masih Bingung Arah Hidup

Anda bisa saja lulus kuliah dengan nilai bagus, tapi tetap menganggur berbulan-bulan. Bisa saja punya pekerjaan tetap, tapi merasa tidak bahagia.

Bahkan saat sudah punya penghasilan stabil, masih saja muncul rasa tidak cukup, tidak cukup kaya, tidak cukup berhasil, tidak cukup pantas dibandingkan dengan orang lain yang terlihat lebih sukses di media sosial.

BACA JUGA:Menyelami Quarter-Life Crisis: Antara Kecemasan dan Pencarian Jati Diri

Produktif Tapi Hampa


Produktif Tapi Hampa.--unsplash.com.

Banyak orang merasa harus terus bergerak, terus sibuk, terus "jadi sesuatu" agar tidak dianggap gagal. Akhirnya muncullah budaya produktivitas berlebihan atau toxic productivity di mana anda merasa bersalah saat istirahat, dan mengukur nilai diri dari seberapa banyak yang bisa diri kita hasilkan.

Kategori :