Itu ditambah dengan kuatnya faktor psikologis pengelola kopwan dan koperasi fungsional dengan kepala desa. Dampaknya, banyak dana koperasi tidak berkembang karena nyantol di pengurus dan aparat desa/kelurahan.
Tantangan kopwan dan koperasi-koperasi berbasis desa itu akan dihadapi juga oleh KMP. Apalagi, KMP didesain sebagai entitas bisnis yang cukup besar. Apakah cukup tersedia sumber daya pengelola yang memadai?
Jika dikelola orang yang tidak memiliki kapasitas, kecil kemungkinan KMP bisa sukses dan menjadi andalan di desa/kelurahan.
Jujur saja, sulit mencari pengelola koperasi yang cakap di desa. Apalagi di desa-desa luar Jawa. Di Sampang, misalnya, para pengurus koperasi wanita hanya berpendidikan SD dan SMP. Tentu, sulit bagi mereka mengembangkan bisnis yang nantinya bermodal hingga Rp 5 miliar.
Tantangan terbesar nanti adalah pengawasan KMP. Sebagai koperasi yang izinnya dikeluarkan dinas koperasi kabupaten/kota atas nama menteri koperasi, mereka akan dibina dan diawasi dinas koperasi. Namun, keterbatasan SDM di dinas koperasi akan membuat pengawasan KMP tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik.
Saat ini saja, sebelum bertambah 8.000-an KMP, dinas koperasi di berbagai kabupaten/kota tidak mampu mengawasi. Sebab, jumlah koperasi sangat banyak, sedangkan SDM pengawas pada dinas koperasi sangat terbatas.
Di Jatim, misalnya, jumlah koperasi pernah mencapai 32.000. Sebanyak 24.000 di antaranya adalah KSP, unit simpan pinjam (USP), koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah (KSPPS), serta unit simpan pinjam dan pembiayaan syariah (USPPS).
Di Indonesia, jumlah koperasi mencapai 150.223 pada tahun 2015. Tahun 2019, jumlahnya menurun menjadi 123.048. Itu karena Menteri Koperasi Puspayoga memiliki program membubarkan KSP dan USP yang tak aktif beroperasi atau menyelenggarakan rapat anggota tahunan (RAT).
Jumlah koperasi yang sangat banyak itu tidak diimbangi dengan ketersediaan SDM yang cukup di dinas koperasi provinsi dan kabupaten/kota. Di Kabupaten Sidoarjo, misalnya, jumlah koperasi ada 1.400-an. Sebanyak 800 di antaranya adalah koperasi keuangan (KSP/USP).
Sementara itu, SDM pengawasan KSP-USP di Dinas Koperasi Sidoarjo hanya enam orang. Kondisi seperti itu juga dialami semua kabupaten/kota di Jawa Timur.
Pengelolaan KMP menuntut profesionalisme yang tinggi. Sebab, beda dengan kopwan dan koperasi fungsional di Jatim yang hanya dimodali Rp 25 juta, KMP dimodali miliaran rupiah.
Modal itu juga bukan hibah. Jika dari dana desa, itu berarti berisiko terhadap pendapatan dan belanja pemerintah desa.
Apalagi, jika modalnya berasal dari kredit di bank-bank pemerintah. Ada cost of fund-nya. Tanpa pengelolaan profesional dan pengawasan yang baik dari Kementerian Koperasi, KMP justru bisa menjadi permasalahan desa.
Bukannya bakal mensejahterakan masyarakat, KMP bisa menjadi beban bagi desa dan masyarakat desa. (*)
*) Guru besar pada Departemen Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.