Di era revolusi industri 4.0 peran teknologi digital sangat strategis. Dalam perspektif perang ekonomi, teknologi informasi dari model konvensional menuju digitalisasi, menjadikan output-nya menjelma menjadi komoditas ekonomi strategis yang setara dengan energi dan mineral.
Pandangan itu sangat disadari para pelaku bisnis bahwa data bukan sekadar informasi, melainkan ia telah menjadi komoditas geopolitik. Data bisa menjadi alat pressure determinatif kepada lawan dagang untuk mendapatkan benefit imbal balik yang menguntungkan.
Negara-negara besar menjadikan penguasaan data sebagai instrumen dalam menanamkan pengaruh hegemoni global. Dalam konteks ini, permintaan AS agar Indonesia membuka akses terhadap data pribadi warganya bukan hanya soal teknis, melainkan juga geopolitik.
Pada titik itulah membuka peluang bagi negara raksasa ekonomi terhadap apa yang disebut dengan ”kooptasi” terhadap kedaulatan data nasional lawan dagang.
Alvin Toffler, futurolog asal Amerika Serikat itu, dalam salah satu karya triloginya, The Third Wave, yang terbit pada 1980-an, telah memprediksi dengan tepat akan masa depan manusia yang hidup dalam era peradaban digitalisasi informasi.
Dalam premisnya, Toffler menyodorkan hipotesisnya bahwa ”barang siapa yang menguasai akses sumber informasi dan pengetahuan niscaya merekalah yang akan menguasai dunia”.
Di era konvensional distribusi data berbasis server-client yang berjauhan mungkin membutuhkan waktu yang sangat lama dalam hitungan hari, bahkan mingguan. Namun, kini, dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, pengiriman data atau informasi mampu dilakukan dengan sekali enter dalam hitungan detik.
Toffler mendeskripsikan apa yang disebut dengan ”gelombang ketiga” relevan dengan revolusi berbasis komputer dan informasi. Ia memprediksi perkembangan kloning yang masif, popularitas, dan pengaruh personal komputer, penyebaran internet dan e-mail, media interaktif, televisi kabel, maupun telekomuting yang kini menjadi kenyataan.
Pada fase dinamika selanjutnya, hasil akhir dari revolusi teknologi informasi adalah terciptanya eksploitasi informasi yang mengandung data-data sensitif sebagai instrumen bargaining dalam persaingan geopolitik.
KETERGANTUNGAN
Isu mengenai keamanan data pribadi telah menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu muncul seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan internet yang makin pesat.
Melalui Forum Digital Economy Working Group (DEWG) dalam Presidensi G-20 Indonesia pada tahun 2022, telah diambil langkah awal dalam memulai perbincangan mengenai keamanan data di kalangan anggotanya.
Indonesia menyoroti pentingnya isu tentang arus data lintas batas dan aliran data bebas dengan prinsip kepercayaan, untuk menunjukkan peran sentral data dalam memanfaatkan peluang ekonomi digital dengan asas transparansi, keabsahan, keadilan, dan ketergantungan timbal balik.
Dalam konteks penguatan aspek keamanan data lintas negara, pada pertemuan DEWG Presidensi G-20 India tahun 2023, pemerintah Jepang telah mengusulkan konsep ”data free flow with trust” yang bermakna bahwa data dapat mengalir dengan bebas, tetapi penggunaannya menekankan prinsip kepercayaan.
Namun, konsep itu masih memerlukan pematangan lebih lanjut di samping perlunya membangun kesepahaman antaranggota G-20.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketergantungan terhadap teknologi dan infrastruktur asing telah menimbulkan kerisauan terhadap kedaulatan nasional. Oleh karena itu, upaya untuk mencapai kemandirian dalam sektor tersebut harus diprioritaskan.