Ayat 1 di PP tersebut menyatakan, organ tubuh manusia dilarang dikomersialkan atau diperjualbelikan dengan alasan apa pun. Arti ”dikomersialkan” adalah ditukar dengan harta, termasuk uang. Tidak disebutkan, apakah pengurangan hukuman bagi terdakwa terhukum mati termasuk dikomersialkan?
Namun, di kasus itu, Yusa maupun kuasa hukumnya tidak menyatakan minta keringanan hukuman untuk ditukar dengan donor organ. Tidak begitu. Yusa donor karena ikhlas. Ia naik banding atas vonis tersebut. Bukan minta keringanan.
Syarat pendonor sesuai PP tersebut, antara lain, organ tubuh yang didonorkan tidak rusak. Juga, atas persetujuan keluarga pendonor.
Yusa pernah menikah, dikaruniai satu anak, kini usia 8 tahun. Ia digugat cerai istri setelah ditangkap polisi karena menjambret pada 2021. Ia duda satu anak. Maka, berdasar PP tersebut, pendonoran organ Yusa harus atas persetujuan anaknya yang kini masih di bawah umur.
Anak di bawah umur, berdasar PP tersebut, tidak berhak memberikan persetujuan. Namun, belum pasti waktu pelaksanaan eksekusi mati Yusa. Sebab, perkaranya belum berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Bisa saja di peradilan tingkat berikutnya ia divonis bukan hukuman mati. Atau, ia dieksekusi mati kelak, pada saat anaknya sudah dewasa.
Berdasar Pasal 125 Ayat (4) UU Kesehatan dan Pasal 327 Ayat (4) PP Nomor 28 Tahun 2024, dalam hal donor mati, jika saat pendonor masih hidup telah menyatakan dirinya ikhlas bersedia sebagai donor, transplantasi organ dapat dilakukan pada saat yang bersangkutan mati tanpa persetujuan keluarganya.
Betapa pun, pernyataan Yusa mendonorkan seluruh organ tubuhnya tanda ia menyesali perbuatannya. Itu sikap mulia. (*)