KEMERDEKAAN yang diraih bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 bukanlah hadiah dari penjajah, melainkan hasil pengorbanan, darah, dan nyawa jutaan rakyat. Kemerdekaan itu dimaknai sebagai pintu menuju kesejahteraan, keadilan, dan kedaulatan penuh atas bangsa sendiri.
Namun, setelah hampir delapan dekade merdeka, muncul pertanyaan yang makin mendesak: apakah kemerdekaan benar-benar menghadirkan keadilan, terutama dalam kebijakan fiskal negara?
Ataukah, kita masih hidup dalam sistem ekonomi yang justru menjajah rakyat kecil, sementara memberikana ruang bebas bagi para pemodal besar dan oligarki?
Kita sampai hari ini belum pernah merasa merdeka yang sesungguhnya. Kemerdekaan yang kita raih dengan susah payah masih menyisakan banyak problem yang belum terselesaikan.
Kita ambil contoh kebijkan pemerintah yang sering kali memberatkan rakyat kecil. Seolah keperpihakan kebijakan politik hanya pada orang-orang yang dekat dengan kekuasaan.
Namun, jauh untuk masyarakat yang semestinya mendapatkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Sering kali pejabat negara hanya pandai membuat gaduh dan omon-omon.
Pajak sejatinya adalah wujud gotong royong modern. Melalui pajak, rakyat menyumbangkan sebagian hasil kerjanya untuk membiayai pembangunan dan kesejahteraan bersama.
Semangatnya jelas: yang kaya memberikan lebih besar, yang miskin ditopang agar bisa hidup layak. Namun, praktik di lapangan jauh panggang dari api.
Rakyat kecil tetap menanggung beban besar melalui pajak tidak langsung seperti PPN, PPh final UMKM, hingga cukai rokok yang ironisnya banyak dikonsumsi masyarakat kelas bawah.
Ketika membeli kebutuhan pokok di pasar atau warung, mereka sudah menyumbang untuk kas negara. Bahkan, ketika mengisi pulsa telepon genggam, pajak tetap dikenakan.
Sementara itu, korporasi besar dan konglomerat kaya raya bisa mengakali kewajiban pajak mereka melalui berbagai skema penghindaran pajak (tax avoidance), transfer pricing, hingga menaruh dana di negara suaka pajak (tax haven).
Kasus-kasus besar sering muncul di media: perusahaan tambang meraup keuntungan triliunan, tetapi membayar pajak tidak sebanding. Ada pula perusahaan digital raksasa asing yang merajai pasar Indonesia, tetapi sulit dijangkau otoritas pajak.
Ironisnya, pemerintah lebih sering terlihat ”lembek” di hadapan para pengemplang pajak besar itu. Sebaliknya, sangat garang kepada rakyat kecil yang menunggak pajak kendaraan atau PBB.
Itulah yang disebut dengan kemiskinan struktural. Sebab, masyarakat selalu ditekan dengan kebijakan pajak, padahal penghasilan tidak sebanding.
Seolah tidak puas di sana, Menkeu Sri Mulyani menyamakan kewajiban pajak dengan zakat, infak, dan sedekah. Pernyataan itu membuat telinga masyarakat panas. Sebab, zakat hanya 2,5 persen, sedangkan pajak 11 persen. Kalau boleh bicara, ”agama saja tidak memberatkan, kenapa negara memberatkan rakyatnya.”