BACA JUGA:Tunjangan Rumah Rp50 Juta per Bulan Anggota DPR Dinilai Wajar, Ini Alasannya
Ketika anggota DPR RI berjoget di sana, masyarakat bisa menafsirkan bahwa para wakil rakyat sedang merayakan ”kenikmatan” mereka, bukan merasakan penderitaan rakyat.
Di titik itulah muncul jarak antara tindakan simbolis elite dan persepsi publik. Tindakan berjoget tidak lagi berdiri sebagai ekspresi personal, tetapi sebagai representasi dari sebuah institusi politik yang memiliki legitimasi besar.
Publik melihatnya sebagai sebuah paradoks sosial. Di satu sisi, masyarakat berjuang menghadapi krisis ekonomi. Di sisi lain, para wakil rakyat justru memperlihatkan selebrasi diri.
Dalam buku The Dictator’s Handbook (2011), Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith memberikan kerangka analisis menarik untuk memahami fenomena itu.
Mereka menekankan bahwa dalam sistem politik, baik otoriter maupun demokratis, pemimpin sering kali tidak berfokus pada kesejahteraan rakyat secara luas.
Sebaliknya, mereka lebih banyak mengalokasikan sumber daya untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara menjaga kepuasan ”koalisi pemenang” –yakni kelompok elite, patron, dan aktor politik yang menopang keberlangsungan kekuasaan.
Makin besar koalisi yang menopang kekuasaan, makin besar pula biaya yang harus dikeluarkan pemimpin untuk mendistribusikan keuntungan. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, DPR RI berada pada posisi strategis.
Mereka tidak hanya menjadi perantara antara rakyat dan negara, tetapi juga bagian dari lingkaran patronase politik yang memastikan stabilitas kekuasaan. Karena itu, orientasi kebijakan lebih sering diarahkan untuk menjaga relasi kekuasaan daripada menjawab keresahan publik.
Kenaikan tunjangan DPR RI bisa dibaca sebagai salah satu bentuk distribusi keuntungan untuk memastikan loyalitas para elite politik. Di mana kesejahteraan publik cenderung dikesampingkan karena dianggap tidak langsung berkontribusi pada kelangsungan kekuasaan.
Fenomena itu tidak berdiri sendiri. Survei yang dilakukan berbagai lembaga menunjukkan bahwa DPR RI adalah salah satu institusi negara dengan tingkat kepercayaan publik terendah. Demokrasi Indonesia memang berhasil menjaga sirkulasi kekuasaan secara prosedural, tetapi gagal membangun kepercayaan substantif antara rakyat dan elite politik.
Riset Prof Burhanuddin Muhtadi memperlihatkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam praktik politik uang, setelah Uganda dan Benin. Fakta itu menunjukkan bahwa demokrasi prosedural kita masih ditopang oleh transaksi material, bukan pada kontrak sosial berbasis ide, gagasan, atau integritas.
Ketika DPR RI yang sudah lama dinilai kurang kredibel justru memperlihatkan kenaikan tunjangan, publik kian sinis. Momen berjoget di ruang sidang menambah daftar panjang tindakan simbolis elite yang dinilai ”tidak selaras” dengan realitas rakyat.
Di media sosial, kritik publik bermunculan dalam bentuk meme, komentar sarkastis, hingga narasi protes yang viral. Reaksi itu menunjukkan bahwa masyarakat makin sadar akan jarak sosial-politik antara mereka dan para elite.
DOMINASI SIMBOLIS: MEMBACA DENGAN PIERRE BOURDIEU
Secara sosiologis, Pierre Bourdieu menjelaskan konsep dominasi simbolis dalam bukunya, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979). Dominasi simbolis merupakan proses di mana kelompok berkuasa memaksakan nilai, norma, dan habitusnya kepada kelompok subordinat.