Kenaikan Tunjangan DPR RI, Joget di Senayan, dan Krisis Empati Sosial

Senin 25-08-2025,05:33 WIB
Oleh: Rafi Aufa Mawardi*

Dominasi itu tidak dilakukan secara represif, tetapi melalui simbol-simbol yang dilegitimasi sebagai sesuatu yang wajar.

Dalam kasus DPR RI, kenaikan tunjangan dan aksi berjoget dapat dilihat sebagai praktik dominasi simbolis. Seakan-akan, para elite politik mengirim pesan bahwa mereka berhak merayakan, bersenang-senang, dan menikmati fasilitas negara meski rakyat masih berjuang dengan kesulitan ekonomi. 

Bahasa tubuh, tindakan, hingga kebijakan yang mereka ambil membentuk simbol-simbol dominatif yang menormalisasi jarak sosial.

Lebih jauh, produk legislasi DPR RI yang acap kali merugikan masyarakat –seperti UU yang kontroversial atau kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu– juga merupakan bentuk kekerasan simbolis. 

Dalam perspektif Bourdieu, kekerasan simbolis itulah yang menjaga keberlangsungan habitus elite sekaligus melanggengkan ketidaksetaraan.

Kebijakan publik selalu sensitif terhadap momentum. Kenaikan tunjangan DPR RI sebenarnya bisa dibenarkan secara administratif, misalnya, dengan alasan penyesuaian inflasi. 

Namun, jika dilakukan saat masyarakat tengah menghadapi kesulitan hidup, kebijakan tersebut tampak tidak bijak. Momentum yang tidak tepat itu justru memperbesar resistansi publik.

Di banyak negara, elite politik sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan pribadi mereka. 

Sebab, mereka sadar bahwa legitimasi politik bisa runtuh gegara simbol kecil sekalipun. Di Indonesia, sensitivitas semacam itu masih lemah sehingga publik terus-menerus merasa diabaikan.

Opini publik yang terbentuk dari kasus ini adalah DPR RI tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Jika tidak diatasi, ketidakpercayaan tersebut dapat menimbulkan delegitimasi yang berbahaya bagi demokrasi. 

Oleh karena itu, DPR RI perlu segera merumuskan strategi komunikasi politik yang lebih empati dan transparan.

Empati politik tidak cukup ditunjukkan dengan retorika, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan nyata, yaitu memprioritaskan undang-undang yang prorakyat, mengurangi praktik politik uang, serta menahan diri dari perilaku simbolis yang menyinggung publik.

Selain itu, DPR RI perlu memperkuat mekanisme akuntabilitas publik. Salah satunya melalui keterbukaan informasi mengenai anggaran, proses legislasi, dan pengawasan pemerintah. 

Dengan begitu, publik tidak hanya menjadi objek dari keputusan politik, tetapi juga subjek yang ikut dilibatkan dalam prosesnya. (*)

*) Rafi Aufa Mawardi adalah asisten dosen dan peneliti di Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga.

 

Kategori :