HARIAN DISWAY - Sebuah kota besar yang baru saja pulih dari perang. Jalan-jalan masih dipenuhi bayangan trauma. Ekonomi belum pulih benar. Aparat bersenjata berat berjaga di setiap sudut.
Itulah dunia yang ditampilkan dalam anime Jin-Roh: The Wolf Brigade. Film itu bukan sekadar tontonan animasi, melainkan refleksi pahit. Tentang bagaimana masyarakat bisa terjebak dalam lingkaran kekacauan.
Jin-Roh bercerita tentang Kazuki Fuse, anggota pasukan khusus bernama Kerberos. Di sebuah misi, Fuse gagal menembak seorang remaja perempuan yang menjadi kurir bahan peledak.
BACA JUGA:Takopi’s Original Sin, Anime Sisi Gelap Dunia Anak-anak
Gadis itu memilih meledakkan diri di depan matanya. Trauma itu menghantui Fuse, dan dari situlah kisah semakin rumit.
Ia kemudian bertemu Kei Amemiya, seorang perempuan yang mengaku sebagai kakak sang kurir. Hubungan keduanya tumbuh, tetapi terseret dalam konflik lebih besar antara aparat keamanan dan kelompok perlawanan.
Aksi protes masyarakat yang menggulir menjadi kericuhan ditanggapi keras oleh pemerintah dan aparat. --inspiredpencil
Film itu lahir dari imajinasi Mamoru Oshii, kreator di balik Ghost in the Shell. Awalnya, Jin-Roh direncanakan menjadi film live-action penutup seri Kerberos.
BACA JUGA:Tanya von Degurechaff dalam Anime Youjo Senki, Pemimpin Keras Bukan Culas
Namun karena hambatan produksi, proyek itu beralih menjadi animasi dan disutradarai oleh Hiroyuki Okiura.
Dirilis pada 1999 di festival internasional dan kemudian tayang di Jepang pada 2000, film itu tampil beda: ritmenya lambat, visualnya detail, dan suasananya muram. Bukan hiburan ringan. Melainkan renungan tentang politik, kekuasaan, dan manusia.
Kekerasan aparat di layar
Adegan pembuka Jin-Roh langsung menampar penonton. Aparat bersenjata berat menembaki para demonstran dan kelompok bawah tanah di selokan kota. Bunyi tembakan memecah kerumunan, dan ledakan bom dari kurir remaja menambah horor.
BACA JUGA:Jejak Panjang Bom Atom Jepang, Delapan Dekade Silam (1): Menginspirasi Seni hingga Anime
Alih-alih meredam keresahan, tindakan brutal itu justru membuat massa semakin marah. Penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan aparat yang berlebihan malah memicu kerusuhan lebih besar di jalanan.
Dari situ terlihat pola klasik: ketika negara memakai cara keras untuk menjaga ketertiban, yang lahir bukan ketenangan, melainkan dendam.