Berbagai kebijakan pemerintah di atas tentu akan mengundang banyak pertanyaan. Semua meraba-raba ke mana peta layanan medis di bumi pertiwi ini akan dibawa pemerintah? Dokter spesialis seperti apa yang dibutuhkan untuk memenuhi berbagai rencana pemerintah di atas?
Tentang pendidikan dokter, saya terkenang pesan Prof Budi Darma (alm). ”Dokter adalah profesi mulia, tapi dia bisa berubah menjadi monster yang mengerikan. Kemuliaan itu soal hati. Jadi, yang menjadi dokter itu adalah hatinya, bukan kepandaiannya saja.
Berbuat baik dan hasrat untuk memberi yang terbaik itu lahir dari panggilan hati (heart), bukan soal ketangkasan berpikir dan keterampilan semata.”
Tentu kita semua bertanya, apakah calon dokter dan dokter spesialis program produksi massal itu telah melalui seleksi psikologis yang ketat, detail, dan saksama? Apakah dasar-dasar etika yang baik telah tertanam di hati mereka?
Apakah mereka telah menguasai pengetahuan-teknologi terkini? Ada kecemasan di hati, bagaimana sepak terjang dan perilaku para dokter dan dokter spesialis baru hasil produksi massal itu nanti?
Bagaimana kesiapan dokter dan dokter spesialis baru produksi massal menghadapi zaman baru yang sama sekali berbeda dan dipenuhi teknologi baru supercanggih nanti? ”Today’s solution is tomorrow’s problem,” pesan Joshua Spodek … sungguh terasa seakan bom waktu menanti di depan.
Bagaimana solusinya? Mungkin pidato Lee Kuan Yew di awal pemerintahannya dulu layak kita renungkan.
”Walaupun secara geografis Singapura hanya satu titik yang tidak ada artinya di bumi ini, saya yakin negara kita akan menjadi negara besar dan dihormati dunia. Syaratnya, pertama, rasa cinta pada tanah air kita Singapura. Mari kita jaga negeri ini sebaik-baiknya agar suasana negeri ini kondusif untuk membangun. Kedua, pemerintahan yang bersih bebas korupsi dan kecurangan. Ketiga, rakyat Singapura harus fasih berbahasa Inggris, bahasa dunia. Keempat, prinsip meritokrasi harus benar-benar dijalankan. Semua warga Singapura mempunyai hak yang sama untuk membangun kariernya dan memimpin sesuai kemampuannya. Jalankan prinsip meritokrasi sebaik-baiknya. Kita didik warga Singapura untuk menjadi profesional yang terbaik dan pemimpin terbaik. Reputasi dan prestasi adalah satu-satunya ukuran yang kita pakai, tidak boleh ada unsur lain yang mengotori: nepotisme, kolusi, kepentingan golongan, primordialisme. Bangsa Singapura lebih membutuhkan disiplin ketimbang demokrasi.”
Pesan Lee Kuan Yew itu tampaknya masih relevan dijadikan pegangan untuk membangun Unair, bahkan mungkin membangun negeri ini. Sejarah membuktikan, demokrasi tidak membawa kemakmuran dan keadilan di negeri ini ... negeri ini terus terpuruk.
Sementara itu, pada usia 10 tahun lebih muda, Singapura telah menjadi negara termakmur dan terkaya, bangsa terpandai dan tersehat di dunia.
Teringat pesan Drucker, tidak ada negara miskin, yang ada hanyalah negara yang salah urus.
FK Unair mempunyai sejarah panjang, lebih tua daripada usia republik ini, 112 tahun. Saat saya masuk FK Unair tahun 1969, 59 tahun lalu, FK Unair satu-satunya FK di Surabaya.
Dahulu sektor pendidikan dan kesehatan dipandang sebagai bagian dari tugas negara untuk menyehatkan dan memintarkan bangsanya.
Kini semua berubah, pendidikan dan kesehatan telah menjadi ladang uang yang menggiurkan. Tentu spiritnya berbeda dan perjalanannya pun sangat berbeda. Dalam 5–10 tahun terakhir, RS swasta baru supermewah tumbuh menjamur.
Kini 14 fakultas kedokteran hadir di kawasan Surabaya dan sekitarnya, mungkin akan bertambah terus, entah ke mana arahnya nanti.
Membaca statuta Unair, terkesan Universitas Airlangga kini dikelola secara korporasi. Dalam mengelola korporasi, jelas kehadiran meritokrasi lebih dibutuhkan ketimbang demokrasi.