Empati yang Hilang: Membaca Pesan di Balik Gelombang Demo

Kamis 04-09-2025,22:03 WIB
Oleh: Ramadhan Pohan*

Jika ditarik benang merah, apa sebetulnya pesan utama yang ingin disampaikan dalam rentetan unjuk rasa tersebut? Ada sebuah kesenjangan sosial yang amat sangat terasa, antara rakyat dan pemerintahnya. 

Rakyat, pembayar pajak, hidup dalam kesulitan, bekerja siang malam untuk mencukupi kebutuhan. Sementara itu, pemerintah, sebagai penerima pajak, terus berpikir untuk menghabiskan APBN dari pajak dengan program-program yang kerap tak jelas arah dan dampaknya. 

Said Iqbal, ketua Serikat Pekerja, menyatakan bahwa DPR terlalu banyak flexing dan pamer hedonisme di tengah gelombang PHK yang menyengsarakan buruh dan rakyat Indonesia.

BACA JUGA:5 Tip Sederhana dan Efektif untuk Tingkatkan Empati dalam Hubungan

BACA JUGA:Dewan Masjid Surabaya Dukung SE Kemenag Tentang Pengeras Suara, Wujud Empati Kepada Umat Lain

Terlepas dari segala hitung-hitungan ekonomi dan kebijakan publik, ada sebuah pertanyaan yang tebersit: ke mana empati kalian semua, wahai wakil rakyat dan para pejabat?

Giacomo Rizzolatti, ahli saraf dari Italia, menemukan adanya sebuah sel dalam otak manusia yang disebut mirror neurons

Sel itu unik karena akan aktif tidak hanya saat seseorang melakukan suatu tindakan, tetapi juga ketika ia mengamati orang lain melakukan tindakan yang sama. Itu menjadi dasar saintifik dari sifat empati yang dimiliki manusia.

Kemudian, dari ilmu sosial, George Herbert Mead mengemukakan dalam teori interaksi simbolis, ada konsep role taking. Yaitu, kemampuan seseorang untuk menempatkan diri pada posisi orang lain, memahami sudut pandang mereka, lalu menyesuaikan perilakunya berdasar pemahaman itu.

Ketika pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan, kenaikan pajak misalnya, apakah mereka lupa untuk menempatkan diri pada posisi masyarakat, mencoba mempertimbangkan sudut pandang masyarakat terhadap kebijakan itu, juga menyesuaikan kebijakan mereka? 

Lalu, para anggota DPR ketika berjoget, apakah mereka tidak melihat berita di televisi atau kanal YouTube, medsos tentang penderitaan rakyat? 

Rakyat yang menangis karena kesulitan untuk membeli beras, sedangkan mereka mendapatkan tunjangan beras yang begitu besar dan masih merasa kurang dengan seabrek tunjangan yang diberikan.

Saya sempat membaca selentingan di media sosial. Ada celetukan untuk mewajibkan syarat minimal S-2 dan TOEFL minimal 500 untuk menjadi anggota DPR. Menurut saya, itu tidak perlu. 

DPR saat ini tidak kekurangan orang-orang yang punya kemampuan kognitif mumpuni. Banyak doktor dan PhD di sana. Lagi pula, mereka mampu membayar staf ahli sesuai dengan bidangnya dan ada anggaran untuk itu.

Menurut penulis, syarat yang lebih penting adalah mereka memiliki empati. Kepekaan. Etikabilitas.

Terakhir, ada konferensi pers yang dilakukan di istana pascarapat paripurna menteri Kabinet Merah Putih terkait demo di Jakarta dan berbagai lokasi lainnya di tanah air. 

Kategori :