Refleksi Komunikasi DPR dalam Menjaga Kepercayaan Publik

Senin 08-09-2025,05:33 WIB
Oleh: M. Fadeli*

Pasalnya, risiko menjadi wakil rakyat adalah menerima hujatan, bahkan hinaan, jika terdapat disparitas kehidupan terlalu jauh antara rakyat dan wakilnya. 

Menurut Stephen R. Covey dan Carkhuff, komunikasi empati adalah melibatkan kesadaran emosional dan kognitif untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. 

Dalam praktiknya, komunikasi empati akan memperpendek jarak sosial dan psikologis antara DPR dan konstituennya. Ketika komunikasi politik DPR tidak berjalan, jembatan aspirasi tidak berfungsi, aksi jalanan menjadi pilihan yang rawan provokasi.

Etika komunikasi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik melalui transparansi komunikasi, komunikasi egaliter, menjaga norma-norma, prinsip-prinsip, dan nilai-nlai moral dalam masyarakat. 

Perlu diingat bahwa etika komunikasi politik bukan sekadar opini pribadi, melainkan juga representasi lembaga DPR yang merupakan rumah rakyat. 

Oleh karena itu, anggota DPR perlu memiliki kepekaan sosial dan kesadaran retorik bahwa apa yang diucapkan akan memperkuat legitimasi atau bahkan merusaknya.

Fenomena huru-hara yang terjadi di bulan Agustus itu menjadi refleksi bersama atas persoalan  efektivitas komunikasi. Transparansi, egaliter, dan nilai moral merupakan fondasi etika komunikasi politik. 

Tanpa itu, komunikasi yang berjalan hanya formalitas dan lips service. Sekadar menggugurkan kewajiban tanpa menyentuh substansi kepercayaan publik. 

Jika itu terjadi, trust gap akan makin lebar. Masyarakat kita yang makin cerdas dapat menilai mana komunikasi yang tulus dan mana sekadar retorika politik. (*)

*) M. Fadeli adalah dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Ubhara, Surabaya.

 

Kategori :