Campak, Herd Immunity, dan Tantangan Kesehatan Publik

Rabu 10-09-2025,14:40 WIB
Oleh: Laura Navika Yamani*

BACA JUGA:Status KLB Ditetapkan, Campak Renggut 17 Nyawa Anak di Sumenep

Perlindungan utama bagi kelompok rentan sebenarnya sederhana, yakni vaksinasi. Selain itu, penanganan pada pasien suspek harus ditunjang dengan perbaikan gizi, pengendalian infeksi, serta komunikasi risiko di masyarakat. 

Vitamin A turut diberikan untuk mencegah sakit berat. WHO mencatat, vaksinasi campak berhasil mencegah lebih dari 60 juta kematian pada 2000–2023.

Sayangnya, pandemi Covid-19 mengganggu pelaksanaan program vaksinasi rutin dan surveilans kesehatan, termasuk untuk campak. Akibatnya, kasus campak meningkat tajam. Pada 2022 Indonesia mencatat 3.341 kasus, naik 32 kali lipat dari tahun sebelumnya. 

BACA JUGA:Lawan Campak dan Kanker Serviks, Surabaya Mulai Vaksinasi HPV dan CKG

Angka itu melonjak lagi menjadi 10.628 kasus pada 2023, sebelum turun ke 3.501 pada 2024. Tahun 2025 masih mencatat kurang dari 500 kasus, tetapi tren di Sumenep patut diwaspadai.

Cakupan vaksinasi campak di Indonesia masih di bawah standar eliminasi WHO, yakni 95 persen untuk mencapai herd immunity

Berbagai faktor menyebabkan hal itu, mulai keraguan terhadap efektivitas vaksin, kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) ringan seperti demam dan nyeri, isu halal-haram, hingga terpengaruh hoaks. 

Ada pula pandangan keliru bahwa imunisasi justru memicu penyakit. Dua tantangan terakhir begitu kuat untuk konteks Madura. 

Padahal, solusi pencegahan sederhana, yaitu meningkatkan cakupan vaksinasi. Penurunan angka vaksinasi selalu berbanding lurus dengan lonjakan kasus. Maka, literasi masyarakat perlu diperkuat, dengan menegaskan bahwa imunisasi adalah hak anak. 

Orang tua harus menyadari pentingnya imunisasi campak demi perlindungan generasi mendatang.

Dalam kondisi wabah, strategi outbreak response immunization (ORI) dijalankan untuk memperkuat herd immunity. ORI bertujuan menutup celah kekebalan (immunity gap) agar rantai penularan terputus. Tentu keberhasilan upaya itu sangat bergantung pada dukungan masyarakat.

Namun, edukasi vaksinasi bukan perkara mudah. Penerimaan masyarakat dipengaruhi banyak faktor: pengetahuan, kepercayaan, budaya, hingga paparan informasi salah. Karena itu, pendekatan kultural dan sosial mutlak dilakukan, dengan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan kader kesehatan. 

Pesan vaksinasi akan lebih diterima bila selaras dengan nilai budaya dan keyakinan setempat. Tokoh agama memegang peran kunci untuk bersama pemerintah daerah memberikan edukasi.

Selain itu, pendekatan emosional efektif untuk menyentuh hati masyarakat. Narasi nyata tentang anak yang terhindar dari sakit berkat vaksin, misalnya, dapat mengubah sikap dan tindakan. 

Edukasi pun harus memakai bahasa sederhana, perumpamaan mudah, atau bahkan bahasa lokal. Forum komunitas seperti PKK, pengajian, Karang Taruna, dan posyandu bisa menjadi kanal penyebaran informasi sekaligus tempat masyarakat bertanya langsung pada tenaga kesehatan.

Kategori :