Beda utamanya, defensif untuk menghilangkan jejak. Kalau ofensif, pelaku memang sengaja niat memotong korban sejak awal.
Pada 1987 dua dokter forensik Jerman Klaus Puschel dan E. Koops menambahinya dengan dua jenis lagi: penyimpangan seksual dan psikosis.
Penyimpangan seks. Pelaku memutilasi korban didorong hasrat seks. Biasanya memotong organ seks seperti payudara atau kelamin.
Psikosis. Pelakunya orang gila. Organ tubuh korban disimpan pelaku sebagai kenang-kenangan.
Cara mutilasi. Hampir di semua kasus di Polandia, pelaku menggunakan alat-alat praktis yang ada di sekitar lokasi kejadian perkara. Pisau dapur, kapak, gergaji kayu, gergaji besi, atau gerinda.
Tingkat pemotongan tubuh bervariasi dari satu pelaku ke pelaku lain. Ada yang memenggal kepala atau memotong tubuh menjadi potongan-potongan kecil.
Dalam kasus ekstrem, tubuh korban dibagi menjadi ratusan potongan kecil. Tujuannya, praktis dibuang atau disembunyikan.
Sepanjang tahun 1950–1982 di Polandia, mutilasi ada 190 kasus. Waktu itu populasi Polandia tumbuh dari 25 juta jiwa (1950) menjadi 36 juta jiwa (1982). Pada akhir periode ini, rata-rata terdapat 5–8 kasus per tahun di seluruh negeri.
Dibandingkan di Swedia, dalam kurun 1961–1990, ada 22 kasus. Itu rata-rata satu kasus dalam dua tahun.
Di Indonesia, dalam satu dekade belakangan, jumlah pembunuhan disertai mutilasi meningkat. Belum ada sumber data untuk itu. Namun, jumlahnya meningkat. Kasus mutilasi Tiara terbanyak dalam jumlah potongan.
Tiara dimakamkan di pemakaman umum Desa Made, Lamongan, Selasa tengah malam, 9 September 2025. Meski kondisi pemakaman gelap total, ratusan pelayat mengantarkan sampai pemakaman selesai.
Ketika peti diturunkan ke liang lahad dengan menggunakan tali, ayahanda Tiara, Setiawan Darmadi, pingsan. Tubuhnya mendadak lunglai. Segera para kerabat menahan supaya Setiawan tidak kejeblos ke liang lahad. Salah seorang pelayat yang memegangi Setiawan adalah Kades Made Eko Widianto.
Eko kepada wartawan mengatakan, ”Ya, tentu saja sebagai ayah, ia syok dengan kejadian ini.”
Eko menceritakan, perjuangan Setiawan merawat dan membesarkan dua anak perempuannya dipuji banyak orang di Lamongan. ”Bayangkan, Pak Setiawan dulu jualan es cendol, terus kurang laku. Beberapa tahun lalu ia ganti jualan sempol di depan Masjid Agung (Lamongan), agak lumayan laku.”
Setiawan dagang sempol berjaga di gerobak dorong bersama istri. Bertahun-tahun begitu. Untuk menghidupi dua anak, pertama Tiara dan adiknyi, Rani. Tiara lulus kuliah dari Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, prodi manajemen. Rani kini kelas II SMAN 3 Lamongan.
Eko: ”Itu dilakukan Pak Setiawan demi anak-anaknya hidup layak, melebihi kondisi orang tuanya. Ternyata keadaannya seperti ini. Coba, apa enggak syok itu.”