Nepal Tunjuk Sushila Karki sebagai Perdana Menteri Interim di Tengah Krisis Politik

Sabtu 13-09-2025,10:19 WIB
Reporter : Najwal Hamamah*
Editor : Taufiqur Rahman

HARIAN DISWAY - Nepal resmi menunjuk Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung, sebagai perdana menteri interim setelah Khadga Prasad Sharma Oli mengundurkan diri.

Oli mengundurkan diri menyusul gelombang protes besar yang mengguncang negara Himalaya tersebut.

Penunjukan ini menandai tonggak sejarah baru karena Karki menjadi perempuan pertama yang memegang jabatan kepala pemerintahan di Nepal. 

Karki dilantik oleh Presiden Ramchandra Paudel pada Jumat 12 September 2025 di Kathmandu. Upacara pelantikan berlangsung singkat, namun penuh perhatian publik mengingat kondisi politik Nepal yang tengah bergejolak.

Paudel menyatakan bahwa penunjukan Karki adalah langkah konstitusional untuk memastikan adanya kepemimpinan hingga digelarnya pemilu pada 2026.

BACA JUGA:Gelombang Protes Massa di Nepal Parah, Pejabat Diserang, Rumahnya Dibakar

BACA JUGA:Generasi Z Guncang Nepal, PM KP Sharma Oli dan Presiden Paudel Mundur

Penunjukan ini terjadi setelah parlemen dibubarkan, menyusul krisis politik yang dipicu kebijakan kontroversial, termasuk rencana pembatasan media sosial dan tudingan korupsi terhadap pemerintahan Oli.

Protes meluas di berbagai kota, dengan ribuan orang turun ke jalan menuntut perubahan kepemimpinan dan pemerintahan yang lebih transparan.

Sushila Karki bukan sosok baru dalam sejarah Nepal. Ia pernah mencatatkan diri sebagai perempuan pertama yang menjabat Ketua Mahkamah Agung pada 2016.

Kariernya dikenal dengan sejumlah putusan progresif, termasuk upaya memperkuat supremasi hukum dan menindak korupsi di kalangan pejabat. Kini, ia menghadapi tantangan baru untuk mengembalikan stabilitas politik di tengah ketidakpastian. 

BACA JUGA:Demonstrasi Ricuh di Nepal Tewaskan 19 Orang, Ratusan Luka-luka

BACA JUGA:Larangan Sosial Media Picu Demo Berdarah di Nepal

Meski demikian, penunjukan Karki menimbulkan perdebatan. Beberapa pakar hukum menyoroti potensi pelanggaran konstitusi, karena belum pernah ada mantan mahkamah agung yang langsung menjabat sebagai perdana menteri.

Kritikus menilai langkah ini bisa membuka preseden berbahaya, sementara pendukungnya berargumen bahwa situasi luar biasa menuntut solusi cepat. 

Kategori :