Kebersamaan yang kami rasakan malam itu kian maksimal. Enam gadis naik ke panggung. Mereka bernyanyi bersama. Satu memetik alat petik, satu lagi menabuh perkusi. Suara melodi tinggi berpadu apik. Tidak ada konduktor, tidak ada partitur. Semua berlandaskan ingatan kolektif yang diwariskan turun-temurun.
BACA JUGA:Para Penerima Beasiswa ITCC ke Tiongkok (1): Wujudkan Cita-Cita Ibu
BACA JUGA:Siswa ITCC Raih Beasiswa ke Tiongkok (1): Bening Tilu Kejar Cita-Cita Mulia
Mereka bernyanyi dengan memeragakan kehidupan para perempuan suku Dong di masa silam. Memintal benang, menjahit, sembari menyesap teh hangat.
Suku Dong memang punya Grand Song atau Da Ge. Itulah tradisi vokal polifonik Dong yang sudah ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2009. Lagu-lagu mereka bercerita tentang kehidupan bersahaja suku tersebut.
Sebagai penutup, tradisi minum dari bejana bertingkat ditampilkan. Cairan dituangkan dari lapisan paling atas, mengalir ke bawah hingga ke mulut tamu yang menunggu. Gestur itu bukan atraksi kosong. Itulah simbol keterhubungan: yang di atas memberi kepada yang di bawah, dan seterusnya, tanpa putus.
Suku Dong adalah termasuk salah satu dari 56 etnis resmi di Tiongkok. Jumlah mereka sekitar 3 juta jiwa. Mayoritas tinggal di Guangxi, Guizhou, dan Hunan. Suku tersebut punya tradisi lisan yang sangat kuat. Lagu, musik, dan cerita menjadi media pendidikan antar generasi.
MELINGKARI KOMPOR, para jurnalis peserta program CIPCC menunggu teh matang.-Doan Widhiandono-
Dalam kerangka besar, Tiongkok memang bukan bangsa tunggal. Ia mosaik yang besar. Sangat besar. Selain mayoritas Han yang mencakup lebih dari 90 persen penduduk, ada etnis Zhuang, Hui, Manchu, Uighur, Miao, Yi, Tujia, hingga Dong.
Masing-masing membawa tradisi yang berbeda. Tapi semuanya masuk dalam kerangka negara-bangsa. Pemerintah pusat kerap mempromosikan keragaman itu sebagai aset budaya. Terutama di panggung internasional.
Liuzhou malam itu memberi gambaran kontras. Di siang hari, kota tersebut identik dengan pabrik baja dan otomotif. Robot-robot menggantikan tenaga manusia. Produksi berlangsung nyaris tanpa suara.
Namun di malam yang sama, suku Dong memperlihatkan kehidupan yang berakar ratusan tahun. Tetap berdenyut di ruang makan dan panggung kecil.
BACA JUGA:4 Pesan di Balik Pamer Senjata Tiongkok dalam Parade Militer
Di tengah derasnya industrialisasi dan urbanisasi, tradisi itu tetap dijaga. Bahkan, beberapa desa Dong kini mengembangkan wisata budaya dengan menjadikan oil tea sebagai pengalaman wajib. Di Liuzhou, hal yang sama dipertontonkan kepada kami: bahwa di balik mesin-mesin otomatis, masih ada tangan manusia yang menumbuk teh dan beras, lalu menyajikan cangkir hangat penuh makna.
Dari cawan yóuchá yang hangat, Liuzhou memperlihatkan sesuatu yang tidak bisa diproduksi oleh pabrik: rasa kebersamaan, identitas, dan keberlanjutan sebuah bangsa… (*/bersambung)